25 radar bogor

Harga Beras Merangkak Naik

NAIK: Beras yang dijual salah seorang pedagang di Pasar Curug Kabupaten Tangerang, Menuju akhir 2017, harga beras dan gabah mengalami kenaikan
NAIK: Beras yang dijual salah seorang pedagang di Pasar Curug Kabupaten Tangerang, Menuju akhir 2017, harga beras dan gabah mengalami kenaikan

JAKARTA–Menuju akhir 2017, harga beras dan gabah mengalami kenaikan di tingkat hulu atau di tingkat petani. Beras juga mencatatkan kenaikan tipis di semua kualitas, baik premium, medium, ataupun beras kualitas rendah.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang pada September menunjukkan harga Rp4.655/kilogram, naik menjadi Rp4.791 per kilogram atau 2,91 persen pada Oktober. Sedangkan gabah kering giling (GKG) menunjukkan harga Rp5.502/kilogram, naik Rp5.532/kilogram atau naik 0,53 persen.

Di tingkat penggilingan, GKP juga mengalami kenaikan 2,98 persen sementara GKG 0,55 persen. Harga GKG pada September tercatat Rp4.744/kilogram dan naik menjadi Rp4.885/kilogram pada bulan berikutnya. Demikian pula dengan GKG yang semula Rp5.590/kilogram naik menjadi Rp5.621/kilogram.

Beras pun demikian. Kualitas premium tercatat mengalami kenaikan harga 0,34 persen. Baras kulaitas rendah naik 1,86 persen. Kenaikan tajam ada pada beras medium yang merupakan beras konsumsi terbanyak, yakni 2,03 persen.

Tren kenaikan ini diperkirakan masih akan berlangsung sampai akhir tahun. Meski demikian, menurut Kepala BPS Suhariyanto, kenaikan ini bisa saja disebabkan karena akhir tahun memasuki musim tanam serta lewatnya musim panen. “Sesuatu yang biasa, biasanya November dan Desember juga naik,” katanya.

Suhariyanto mengatakan, harga diperkirakan normal kembali selepas panen pertama antara periode Januari hingga Februari tahun depan.

Menurut alumnus Universitas Indonesia itu, kenaikan beras masih tergolong sangat tipis dengan andilnya terhadap inflasi sebesar 0,04 persen. Pergerakan harga beras yang cukup signifikan masih terjadi di beras kualitas medium.

Meski demikian, jika melihat tren yang terjadi sejak Januari awal tahun lalu, upaya-upaya pemerintah telah berhasil menekan fluktuasi harga beras di pasaran. Menurut Suhariyanto, kenaikan ini tidak akan mengganggu. “Stabilisasi sudah dilakukan pemerintah, ini naik tapi tetap terkendali,” ungkapnya.

Infografis kenaikan harga beras (Alfi/Radar Bogor)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi Oktober cukup rendah, yakni 0,01 persen. Namun, kenaikan harga-harga kebutuhan pada akhir tahun tetap harus diwaspadai. Inflasi tahun kalender 2017 (year to date) mencapai 2,67 persen. Sementara itu, inflasi year on year (yoy) masih terjaga di 3,58 persen.

Kepala BPS Suhariyanto menyatakan, ada potensi kenaikan harga barang menjelang akhir tahun yang dipicu musim liburan, persiapan Natal, dan tahun baru. ’’Mudah-mudahan bisa kita tekan sehingga tidak terjadi fluktuasi harga,’’ katanya.

Suhariyanto melanjutkan, sepanjang Oktober, ada tiga kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi, yakni bahan makanan, transportasi, komunikasi, serta jasa keuangan. Sementara itu, lima kelompok pengeluaran lainnya mengalami inflasi.

Kelompok bahan makanan mengalami deflasi hingga minus 0,54 persen dengan andil 0,09 persen. Menurut Suhariyanto, hal itu disebabkan selama Oktober banyak komoditas pangan yang mengalami penurunan harga sehingga memberikan andil terhadap deflasi.

Meski demikian, ada juga beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga sehingga menyumbangkan inflasi. Yakni, bawang merah dan beras. ’’Dua komoditas ini perlu perhatian khusus,’’ kata Suhariyanto.

Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menuturkan bahwa inflasi Oktober yang hanya 0,01 persen memang tergolong rendah. Namun, dia menekankan, beberapa penyebab inflasi bulan lalu adalah kenaikan harga bahan makanan atau volatile food seperti beras dan cabai merah.

Untuk itu, pemerintah tetap harus mewaspadai pasokan bahan makanan, khususnya menjelang tren musiman Natal dan tahun baru. ”Jadi, pemerintah perlu menjaga pasokan bahan makanan ini,’’ ujarnya kemarin.

Selain itu, lanjut Bhima, pemerintah sebaiknya memonitor pergerakan biaya transportasi, baik darat maupun udara, yang biasanya juga naik pada akhir tahun. Di sisi lain, harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah lebih dari USD 52 per barel. Besaran harga tersebut sudah berada di atas asumsi makro APBNP 2017 yang hanya USD 50. ’’Karena itu, diharapkan pemerintah tidak melakukan penyesuaian harga BBM sampai akhir tahun untuk menjaga inflasi,’’ ujarnya.

Meski begitu, Bhima memprediksi target inflasi tahun ini yang ditetapkan di angka 4 persen bisa tercapai. ’’Inflasi tahun 2017 diproyeksi akan berada dalam range 3,9–4,1 persen secara year on year (yoy). Angka tersebut lebih tinggi dari tahun 2016 sebesar 3 persen. Tapi masih terkendali,’’ imbuhnya.

Di sisi lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) optimistis prospek perekonomian Indonesia 2018 bakal lebih baik. Kondisi itu didukung sejumlah indikator ekonomi dan politik menunjuk tanda-tanda positif.

Harga-harga komoditas sejak medio 2014 tertekan, mulai menunjuk perbaikan. Lonjakan harga komoditas menyusul ekonomi global mulai membaik. Itu kemudian memantik harga batu bara dan sawit menggeliat. Harga batu bara mendekati USD 100 per ton dan harga sawit USD 600 per ton, meski pernah jatuh USD 450 per ton.
”Itu menggairahkan pasar ekspor dan mendongkrak penerimaan pajak,” tutur JK. Di samping itu, harga minyak juga telah meningkat menjadi USD 55 per barel.(tau/ken/pus/c19/sof)