25 radar bogor

Terbukti Curang, Langsung Diskualifikasi

BOGOR–Peringatan keras bagi para peserta pemilu yang hendak ber­laku curang. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat ini memiliki eks­tra kewenangan dalam penin­dakan pelanggaran. Panitia pe­ngawas (Panwas) di daerah bisa mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti melakukan pelang­ga­ran berat.

“Ini harus diperhatikan para peserta pemilu. Terutama untuk hajatan politik yang paling dekat, yakni Pilkada 2018. Intinya, bagaimana menegakkan demokrasi yang berintegritas, baik Pilkada dan Pemilu 2019,” tegas Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Abhan, pada diskusi terbuka di Graha Pena, Jalan KH Abdullah bin Nuh, Kota Bogor, kemarin (29/10).

Abhan menjelaskan, ada beberapa kategori pelanggaran yang menjadi kewenangan Panwaslu, yakni pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dan dugaan tindak pidana dalam pemilu. “Perlu diingat, pelanggaran administrasi sanksinya sangat tegas. (Panwaslu) bisa mendiskualifikasikan pasangan calon,” jelasnya seraya menyebut aturan itu seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Sorotan Bawaslu juga pada aksi money politics. Pantauan Bawaslu, aksi curang itu dilakukan terstruktur, sistematis dan masif oleh banyak oknum calon atau pasangan calon. Kini, meski masuk ranah pidana, undang-undang tersebut jelas memberi kewenangan kepada Bawaslu untuk menyelesaikan dugaan money politics melalui mekanisme administrasi. “Temuan money politics juga bisa berujung pada rekomendasi diskualifikasi,” tuturnya.

Terlebih, setelah adanya revisi peraturan Bawaslu nomor 13 tahun 2016, kini penanganan money politics dapat dilakukan sampai hari pelaksanaan pemungutan. “Kalau di masa tenang masih ada praktik (money politics), itu bisa dilaporkan ke pengawas dan jika terbukti bisa didiskualifikasi,” tegasnya.

Sorotan Bawaslu berikutnya adalah potensi petahana memobilisasi dukungan birokrat. Petahana yang melakukan kebijakan yang menguntungkan pasangan calon, semisal melakukan mutasi tanpa persetujuan Menteri Dalam Negeri sebelum enam bulan masa akhir jabatan, itu juga bisa ditelisik sebagai upaya pelanggaran pemilu. “Itu diterapkan di Jayapura. Sudah terpilih dan mutasi sebelum masa jabatan, tetapi kajian itu terindikasi. Bukan tidak mungkin diberikan sanksi sampai diskualifikasi,” ujarnya.

Selain itu, Abhan juga mengingatkan terkait metode kampanye yang dilakukan pasangan calon dengan memanfaatkan media massa, baik cetak maupun elektronik. “Melarang melakukan kampanye karena sudah difasilitasi KPU. Kalau ada unsur terpenuhi, bisa diskualifikasi,” ucapnya lagi. Tetapi untuk aturan itu, kata Abhan, tidak berlaku pada Pemilu 2019.

Terakhir, soal pelaporan dana kampanye yang mengandung unsur tidak cermat dan terlambat melaporkan. “Apalagi tidak benar, itu bisa diskualifikasi, sanksi ini sangat tegas. Termasuk mahar politik itu dilarang,” tegasnya.

Di sisi lain, permasalahan yang sering muncul pada pesta demokrasi di Indonesia yakni sengketa antarpeserta dan peserta dengan KPU. Dalam hal ini, Bawaslu akan membantu menyelesaikan melalui mekanisme dan aturan yang ada. “Kewenangan pengawas pemilu juga bisa membatalkan penetapan yang dilakukan KPU terkait dengan penetapan pencalonan. Panwas yang menilai ulang, KPU salah, ada keteledeoran semisal ijazah tidak memenuhi syarat, itu bisa mengubah putusan,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengkritisi KPU Jawa Barat terkait keterbukaan anggaran.

Untuk menciptakan penyelenggaran yang efektif, efisien dan akuntabel, ia mendesak KPU menyampaikan secara terbuka apa peruntukan dan argumentasi penggunaan dana tersebut.

“Jawa Barat memang paling besar, lebih dari 32 juta (jumlah pemilih) dan memiliki 27 kabupaten/kota. Penting untuk meyakinkan, menjamin akuntabilitas KPU agar tidak mudah dimanipulasi dan disimpangi,” cetusnya.

Menurut Titi, KPU harus terbuka terhadap semua komponen yang ada. Itu demi mewujudkan penyelenggara pilkada yang berintegritas, profesional dan tidak partisan. “Diperlukan juga peserta pilkada yang berkompetisi jujur dan tidak melakukan praktik politik uang,” imbuhnya.

Peserta pemilu juga dituntut untuk tidak melakukan manipulasi suara, hoax, dan tidak melakukan transaksi mahar politik. “Mahar politik merupakan praktik ilegal tetapi tidak bisa ditindak penegakan hukum secara optimal. Temuan KPK, 70 persen calon yang kalah Pilkada 2015 menyerahkan sejumlah uang kepada partai politik dan itu tidak dicatat dalam dana kampanye,” bebernya.

Sehingga hal itu, menurut Titi, menjadi tantangan Bawaslu untuk mendiskualifikasi peserta yang terindikasi melakukan mahar politik. “Bawaslu harus menggandeng institusi PPATK dan KPK yang memiliki instrumen menelusuri aliran dana. Aliran tunai juga ada dana yang beredar, dan harus bisa memberikan perlindungan terhadap saksi. Pencegahan yang paling efektif dilakukan partai politik itu,” tukasnya.(ded/d)