25 radar bogor

Percikan Api Las Picu Ledakan di Pabrik Petasan

TAK TERISISA: Lokasi pabrik petasan di Kosambi, Tangerang yang terbakar. Pengelasan atap pabrik jadi penyebab utama tragedi yang menghilangkan 47 nyawa tersebut (Jawapos)

JAKARTA–Polda Metro Jaya, kemarin (28/10), menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus kebakaran pabrik petasan PT Panca Buana Cahaya Sukses di Kosambi, Tangerang, Banten. Selain tersangka, polisi juga mengungkap penyebab kebakaran yang memicu ledakan tersebut.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono mengatakan, penetapan tiga orang tersangka tersebut setelah dilakukan pemeriksaan kepada beberapa saksi dan penyitaan barang bukti oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

Mereka bernama Indra Liono (pemilik pabrik), Andri Hartatnto (pengelola), dan Subarkah Ega Sanjaya (tukang las atap). Dirinya menjelaskan kebakaran akibat las atap pabrik yang dilakukan oleh Ega. Percikan api las mengenai petasan dan memicu ledakan.

”Mereka dikenakan Pasal 188 KUHP, lalu Pasal 359 KUHP, dan 74 Undang-Undang Kete­naga­kerjaan, dengan hukuman di atas lima tahun penjara,” ujar mantan kabid­humas Polda Jawa Timur itu.

Meskipun telah ditetapkan tersangka, penyidikan terus dilakukan. Saat ini izin pabrik petasan tengah diperiksa. Sebab pihaknya mencurigai kalau pemilik perusahaan mema­nipulasi perizinan. Sebanyak 26 saksi pun telah diperiksa. Saksi tersebut meliputi korban yang selamat, warga setempat, dan saksi mata.

”Terkait skala penjualan petasan apakah hanya di Indonesia atau di luar negeri belum diketahui, dan masih kami dalami terhadap pemeriksaan pelaku,” paparnya.

Polda Metro Jaya sebelumnya telah memeriksa tujuh saksi terkait isiden kebakaran maut tersebut. Dua di antaranya merupakan warga sekitar dan lima orang lainnya merupakan karyawan PT Panca Buana Cahaya Sukes.

Mendalami hal tersebut, polisi berkoordinasi dengan laboratorium forensik untuk mencari penyebab kebakaran. Ternyata ditemukan karena percikan las yang menyambar ke bahan pembuatan kem­bang api.
Sementara itu, sudah tiga jenazah korban kebakaran pabrik petasan PT Panca Buana Cahaya Sukses, Kosambi, Kabupaten Tangerang, berhasil teridentifikasi. Mereka adalah Slamet Rahmat, Marwati, dan Sutrisna. Jasad tersebut teridentifikasi dari hasil pemeriksaan gigi, DNA, dan medis.

”Jika ditotalkan sudah ada empat jenazah yang telah teridentifikasi. Dan sisanya ada 43 jenazah lagi,” kata Argo.

Korban tewas dalam kondisi mengenaskan. Yaitu 90-100 persen terbakar. Hal tersebut menjadi faktor kesulitan pihaknya untuk melakukan identifikasi.

Namun tim DVI RS Polri belum kehabisan akal. Pencarian identitas melalui pemeriksaan aksesori atau perhiasan yang ada pada tubuh korban. Seperti jenazah Marwati. Di mana identitas warga Tangerang tersebut diketahui dari pemeriksaan behel gigi.

Sampai saat ini sudah ada 50 keluarga korban yang menyerahkan dokumen terkait anggota keluarganya itu. Di antaranya foto, tes DNA, data gigi korban. Meskipun begitu tidak ada penambahan jenazah. Semua berjumlah 47 jenazah. Kemudian sepuluh kantong jenazah lainnya pun sedang dilakukan pemeriksaan. Dan pihaknya berharap jenazah lainnya bisa segera teridentifikasi.

”Ada 50 keluarga yang melapor karena ada yang sama. Misalnya keluarga si A, tapi yang melapor lebih dari satu orang,” ucap dia. Dan untuk jenazah yang telah teridenti­fikasi telah diserahkan ke pihak keluarganya masing-masing.

Sebelumnya diberitakan, kebakaran melanda pabrik kembang api PT Panca Buana Cahaya Sukses di Jalan Raya SMPN 1 Kosambi, Belimbing, Kosambi, Tangerang, Kamis (26/10) pukul 09.00 WIB.
Dalam insiden kebakaran itu, sebanyak 47 orang tewas dan 46 orang mengalami luka bakar. Polisi telah mengevakuasi puluhan jenazah korban kebakaran ke RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.

Kemarin (28/10) jumlah korban tewas bertambah. Nurhayati (20), korban dengan luka bakar serius meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan intensif di RSUD Tangerang, Kota Tangerang, Banten.

Tangis Menyelimuti Penyerahan Jenazah

Di tempat terpisah, Muhammad Alfin tak kuat menangis histeris saat melihat peti jenazah ayahnya bernama Sutrisna di masuk ke mobil ambulans.  Wajah bocah berusia 12 tahun itu terlihat pucat. Tubuhnya seketika lemas dan sepoyongan saat berjalan menuju ambulans.

Pelukan hangat pun diberikan oleh saudara kepadanya. Mereka (saudara Alfin, red) mengatakan kalau Alfin harus kuat dan ikhlas atas kepergian kedua orang tuanya. Pelukan tersebut sedikit berhasil membuatnya tenang. Sambil menangis, Alfin masuk ke mobil ambulans untuk mengatarkan jenazah sang ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Sama halnya yang dirasakan Dani Setia Ningsih. Air mata terus membasahi pipinya. Setelah tiga hari menunggu di Jakarta, jenazah sang suami akhirnya teridentifikasi. Dirinya merasa sedih mengetahui kabar tersebut.

Meskipun begitu Ningsih telah merasa tenang. Meskipun pada kenyataannya suaminya itu telah meninggal, namun jenazahnya telah berhasil teridentifikasi. Ucap syukur pun dilakukannya. Dan Ningsih ingin cepat-cepat mengatarkan jenazah sang suami ke tempat istirahatnya yang terakhir. Sehingga almarhum bisa merasa tenang di alam kuburnya.

Dia tak pernah menyangka suaminya bernama Slamet Rahmat tewas terpanggang api. Padahal selasa (24/10), dirinya baru bertemu denganya. Ketika itu sang suami terlihat gembira saat bermain dengan putranya bernama Arsya Firendra (2). Tidak ada firasat buruk yang dialaminnya. Sebab pemandangan tersebut sudah biasa terjadi. Slamet hanya mengatakan pamit untuk kembali bekerja di Tangerang.

”Karena saya tinggal di Garut, Jawa Barat, jadi suami sebulan sekali pulang ke rumah. Nah, selasa (24/10) malam dia izin pamit kerja ke saya dan anak,” ujar perempuan berusia 25 tahun itu.

Keesokan harinya, rabu (25/10), Slamet memberikan kabar melalui pesat singkat. Slamet mengatkan kalau baru saja selesai bekerja. Saat itu Slamet mengeluh capek kepadanya. Sebab pekerjaan yang dijalaninya saat ini jauh lebih berat dibandingkan sebelumnya.

Sebab, saat di Garut, Slamet bekerja sebagai pembuat stiker petasan. Bukan bagian packing yang dijalaninya di PT Panca Buana Cahaya Sukses. ”Sejak 2008 suami saya sudah bekerja. Dan 2017 pihak perusahaan memindahkannya dari Garut ke Tangerang. Sebab perusahaan yang di Garut sudah tutup,” paparnya.

Ningsih masih ingat betul saat pertama kali mengetahui kalau PT Panca Buana Cahaya Sukses terbakar. Ketika itu informasi diberitahukan oleh pihak keluarga. Meski begitu dirinya masih bersikap tenang. Untuk mendapatkan informasi dirinya terus menonton dan membaca berita terkait peristiwa tersebut.

Kemudian Ningsih meminta tolong kepada kakaknya yang berada di Tangerang agar mengecek ke lokasi kejadian. Pengecekan pun dilakukan. Mulai dari pengecekan di lokasi kejadian dan rumah sakit di Tangerang. Sayangnya, kabar baik terkait suaminya tersebut tak juga datang. ”Kakak mengatakan kemungkinan besar Slamet berada di sini (RS Polri, Kramat Jati),” ucapnya.

Bersama sang anak dirinya bergegas menuju lokasi. Kamis (26/10) pukul 23.30, dirinya sampai di RS Polri.  Dia pun langsung menuju posko Ante Mortem. Dihada­pan petugas dengan panik dia menanyakan keberadaan sang suami. Sayangnya petu­gas belum bisa mengeta­hui identitas jenazah yang datang ke rumah sakit tersebut.

Hatinya mulai tidak saat mengetahui kalau yang dievakuasi ke RS Polri adalah khusus korban yang meninggal dunia. Sambil memeluk sang anak dirinya tak henti-hentinya menangis. Ketika itu, Ningsih tidak percaya kalau sang suami telah meninggal dunia.

Dirinya memutuskan untuk menginap di rumah sakit sempai adanya kepastian terkait suaminya itu. Namun pihak keluarga memaksa agar dirinya pulang ke rumah saudaranya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Mereka merasa khawatir terhadap kondisi fisik Ningsih dan anaknya itu.

”Jangan sampai gara-gara terus memikirkan yang tidak-tidak, saya dan anak malah jatuh sakit, sehingga memperkeruh keadaaan. Saya pun akhirnya pulang pergi Lebak Bulus ke rumah sakit,” tuturnya.

Sosok Slamet dimatanya sangatlah istimewa. Sejak menikah 2012 lalu, Slamet tidak membuat dirinya bersedih. Suaminya itu merupakan orang yang pendiam dan pekerja keras. Demi keluarga apapun dia lakukan. Sampai-sampai Slamet melarang dirinya untuk bekerja. Slamet ingin dia fokus untuk merawat sang anak.

Dirinya merasa bingung dengan musibah yang menimpanya. Sebab sudah tidak ada lagi yang bisa membiayai keluarganya. Namun dirinya tidak putus asa. Ningsih berencana untuk mencari pekerjaan. Apa pun itu. Yang terpenting kebutuhan anak dan dirinya bisa tercukupi.

Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan melaporkan insiden terbakarnya pabrik petasan di Kosambi, Tangerang, ke Badan Buruh PBB International Labour Organization (ILO).

Presiden KSPI Said Iqbal menuturkan, pihaknya akan membawa kasus ini ke dalam sidang tahunan organisasi buruh internasional ILO 2018 nanti. “Salah satunya membahas K3. Kami akan membawa kasus pabrik petasan dan PT Mandom di Bekasi ke sidang ILO,” kata Said Iqbal di Jakarta, kemarin (28/10).

Menurut Iqbal, insiden ini adalah pelanggaran serius terhadap keselamatan dan kesehatan kerja, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970. “Menurut investigasi kami, ini kuat unsur pidananya,” kata Iqbal.

Iqbal menuturkan, di perusahaan yang penuh dengan bahan-bahan berbahaya tersebut tidak terdapat alat yang memadai terkait dengan K3. Ia menyayangkan pabrik yang penuh bahan berbahaya ini bisa beroperasi tanpa standar keamanan yang memadai.

Hal ini menunjukkan lemah­nya pengawas ketenagakerjaan. Oleh karena itu, menurut Said Iqbal, pihak Kementerian Ketenagakerjaan harus bertanggung jawab.(tau)