25 radar bogor

Good Bye, Rindu Alam…

Ilustrasi Rindu Alam Puncak
Ilustrasi Rindu Alam Puncak
RAMAI: Restoran Rindu Alam hingga kemarin masih ramai.

Tahap pertama, pemerintah sudah merelokasi sekitar 539 lapak PKL di kawasan Puncak. Pembongkaran tahap kedua dilakukan terhadap 51 bangunan non-PKL, seperti vila, rumah tinggal, dan warung yang berada di sekitar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua.

Kemudian, Satpol PP akan melanjutkan penertiban 575 lapak PKL, mulai sekitar Hotel Permata Alam hingga perbatasan Kabupaten Cianjur, termasuk Restoran Rindu Alam.
Hingga kemarin jumlah kunjungan Restoran Rindu Alam masih seperti biasa.

Pengunjung Restoran Rindu Alam, Maria Juli (35) dan suaminya, Andre (36), mengaku betah berlama-lama di restoran yang dirintis sekitar 1980 tersebut. Biasanya, ia dan keluarga datang jelang atau saat libur akhir pekan. “Sejak kecil sampai saya punya tiga anak. Saya suka ke sini. Tidak bosan dengan makanannya. Apalagi suasananya, sayang kalau dibongkar,” ucapnya kepada Radar Bogor, kemarin.

Hal senada diungkapkan Susanto (52). Menurutnya, Rindu Alam menyimpan kenangan. Saat itu, kendaraan belum sepadat sekarang. Biasanya jika ia ke Bandung, ia selalu mampir. “Sudah tak terhitung ke sini,” cetus pria yang berprofesi sebagai arsitek ini.

Perwakilan Restoran Rindu Alam, Budinarto, mengaku siap menerima keputusan pemerintah. Tak ada syarat ataupun keinginan yang diajukan. “Alangkah bijaknya bisa dimanfaatkan sebagai lokasi cagar budaya secara sejarah,” ujarnya.

Budi menjelaskan, jejak sejarah asal mula nama yang melekat di rumah makan tersebut. Sejak zaman pemerintah penjajahan Belanda, lokasi tersebut memang dijuluki Rindu Alam. Menurutnya, tak jelas asal muasalnya. Hanya saja, di zamannya merupakan tempat persinggahan.

“Bisa dilihat dari pemandangan di sini yang asri. Ini menjadi jalur utama pengendara yang menuju Cianjur-Bandung. Terasa enggak lengkap, kalau tidak mampir ke sini,” ungkapnya.
Pada zamannya, sambung dia, terdapat bangunan Belanda seukuran rumah penduduk yang diyakini bekas pengawas perkebunan teh.

Budi mengungkapkan, bangunan yang kini menjadi restoran didirikan oleh dua sekawan. Mereka adalah Ibrahim Adjie, mantan Pangdam III Siliwangi dan seorang pemilik sebuah restoran khas Minang, DS Mangkoto.

Keduanya mengajukan penyewaan lahan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Tepatnya, diajukan 1979 dan izin akhirnya keluar 1980. Kemudian, dilanjutkan pembangunan dengan mengganti bangunan lama yang ada pada 1981.

Awalnya, restoran ini hanya menyediakan sate dan sup. Kini, menyediakan aneka hidangan seperti berbagai sate, sup, hingga pepes. Rindu Alam jadi tempat favorit sederet petinggi negara. Di antaranya, tutur dia, mantan Presiden RI Megawati, Gus Dur, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat menuju Istana Cipanas, mereka meluangkan waktu untuk mampir.

Setiap hari, restoran ini ramai pengunjung, meski bukan akhir pekan. Dibuka pukul 10.00 WIB, restoran ini juga dikunjungi para pelancong yang hendak menikmati hamparan kebun teh.
Di samping restoran terdapat lahan parkir yang disediakan. Meski tak memesan makanan, lokasi ini dianggap milik umum. Untuk memutar pendapatan, pengelola menerapkan sistem bagi hasil bagi karyawannya. Pembagiannya 60 persen untuk gaji karyawan dan 40 persen keuntungan pemilik.

Hingga saat ini, Rindu Alam menjadi lokasi favorit para aktor senior. Mulai Eva Arnaz, Roy Marten, Barry Prima, Rano Karno, hingga Desy Ratnasari. “Ada juga yang membuat film di sini,” katannya.

Supervisor Rindu Alam, Ajat Sudrajat mengatakan, saat ini seluruh karyawan senior dan pengelola tengah menghadiri sidang gugatan.

“Semua ada di Bandung. Saat ini, kontrak dari 2015 hingga 2020 diputus di tengah jalan pada 2017. Nanti akan menghadiri sidang susulan minggu depan,” singkatnya. (don)