25 radar bogor

Sertifikasi Halal Harus lewat MUI

SAH: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diresmikan Kemenag di auditorium HM Rasjidi Gedung Kemenag MH Thamrin, Jakarta.
SAH: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diresmikan Kemenag di auditorium HM Rasjidi Gedung Kemenag MH Thamrin, Jakarta.

JAKARTA–Kemenag me­ne­gaskan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih meme­gang peranan yang sangat vital terkait sertifikasi halal. Meskipun pemeriksaan produk bisa dila­kukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)dan lembaga penjamin halal lainnya, tanpa fatwa MUI, sertifikat tidak bisa dikeluarkan.

Sekretaris Jenderal Kemenag Nur Syam mengungkapkan bahwa posisi BPPJH bukan untuk menggantikan peran MUI sepenuhnya. “Antara BPJPH dan MUI itu satu kesa­tuan,” katanya saat dihubungi Jawa Pos (Grup Radar Bogor), kemarin (14/10).

Nur Syam menjelaskan, BPJPH berfungsi untuk menerima dan mengoordinir pendaftaran dan pengajuan produk halal dari berbagai perusahaan. Setelah syarat dan prosedur terpenuhi BPJPH akan melakukan pengecekan produk di berbagai lembaga pemeriksan halal (LPH). “LPH itu punya pemerintah, bisa juga lewat lembaga lain di bawah naungan ormas atau perguruan tinggi,” terangnya.

Hasil pemeriksaan produk dari LPH dikirim kembali ke BPJPH untuk kemudian diteruskan kepada MUI untuk dibuatkan fatwa halal. Dalam UU 33 Nomor 2014 tentang Jaminan Produk Halal, peran MUI di sini adalah mutlak. “MUI adalah satu-satunya lembaga yang dipercaya pemerintah untuk melakukan kajian dan diskusi lalu mengeluarkan fatwa halal,” kata Nur Syam.

Fatwa halal kemudian diteruskan kembali ke BPJPH yang kemudian menerbitkan sertifikat dan label halal untuk produk tersebut. Tanpa fatwa MUI, produk tidak akan pernah memiliki label halal.

Nur Syam optimistis sistem yang baru ini nantinya dapat memacu penelitian-penelitian tentang kompisisi kehalalan produk obat, kosmetik, maupun makanan. Kemenag berharap perguruan-perguruan tinggi yang menjadi pelopor dalam penelitian halal. “Nanti ada banyak pilihan substitusi bagi produk-produk yang belum halal,” kata mantan rektor UIN Sunan Ampel Surabaya ini.

Mengenai vaksin MR, Nur Syam menyatakan tidak bisa berkomentar lebih banyak. Menurutnya, penerapan UU 33 masih dalam proses. Tidak serta merta semua produk harus halal saat ini juga. Jika belum ada subsitusi untuk sebuah produk yang halal, maka yang dipakai adalah prinsip ke-daruratan “Saya rasa sampai batas waktu tertentu, aspek kedaruratan masih berlaku,” katanya.

Sementara itu, Direktur Surv­eillance dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Elizabeth Jane Supardi mende­legasikan sepenuhnya pada produsen obat atau makanan untuk menjalin kontak dengan lembaga penjamin halal. “Sebelumnya dengan MUI tapi sekarang dengan Kemenag,” tukasnya.(tau)