25 radar bogor

Prosesi Tahun Baru ala Warga Telaga Ngebel, Ponorogo

WAKTU mendekati tengah malam, Rabu (20/9). Sorot kedua mata Sa’kun masih terlihat tajam. Berdiri mengenakan celana kolor, lelaki berusia 54 tahun itu tampak tegap. Dinginnya air Telaga Ngebel hanya ditanggapi nyengir. Sa’kun bergegas mengambil getek. Buru-buru, rakit transportasi tradisional itu ditarik dari jarak 15 meter. Perahu didekatkan ke rombongan sesepuh Desa Ngebel yang merapat ke dermaga.

”Nyuwun tulung, Pak Sa’kun. Sing ati-ati,’’ tutur salah seorang tetua yang mengenakan baju adat Jawa dengan blangkonnya. Sa’kun hanya mengangguk. Dia menerima buceng alit (kecil) dengan hati-hati. Tumpeng kecil dengan nasi warna merah diletakkan di getek. Wajar kalau tetua mengingatkan. Sebab, tugas Sa’kun malam itu cukup berat. Tidak sembarang orang mampu melakukan tugas tersebut.

Dia punya kewajiban melarungkan tumpeng ke tengah telaga. Sa’kun menjadi utusan masyarakat delapan desa di kaki Gunung Wilis. Meskipun, baginya, tugas itu sangat enteng. Sudah 24 tahun dia menjalani itu. Tidak memerlukan alat atau pelampung. Dia cukup mengatur napas untuk berenang di telaga yang kedalamannya 20 meter lebih itu. Aksinya mendorong getek bambu menjadi tontonan.

Ucapan doa terlontar mengiringi kepergian Sa’kun ke tengah telaga. Suasana khusyuk dan hening terasa tumpeng di dorong ke tengah perairan. Tepat detik itu, semua masyarakat berdoa agar dijauhkan dari bencana. Mereka berharap agar penjaga telaga yang sering disebut danyangan tidak marah. Doa keselamatan dipanjatkan kepada Pencipta.

Menurut Sa’kun, ritual larungan di Telaga Ngebel sebenarnya identik dengan proses memanjatkan doa. Masyarakat bersyukur telah diberi keselamatan dan kekayaan. Apalagi, hasil panen setiap tahun berlimpah. Proses larungan di Kota Reog tidak muncul secara ujuk-ujuk. Zaman dahulu, Telaga Ngebel kerap memakan korban. Banyak pengunjung tercebur ke perairan dan tewas. Masyarakat lantas merespons banyaknya musibah yang terjadi itu.

’’Para tetua lantas ber­musyawarah. Kami sepakat memberikan sesaji kepada Penjaga telaga,’’ papar Sa’kun sambil berganti baju. Kali ini dia melepas pakaian adat Jawa. Kausnya merah putih tertutup pakaian hitam khas warok Ponorogo. Udengnya melekat di kepala. Sejak 1993 hingga sekarang, larungan terus diuri-uri. Prosesi tersebut mengundang ribuan wisatawan setiap tahun. Bahkan, banyak turis datang dari luar pulau.

Sejumlah ritual mewarnai kegiatan larung dan purak buceng. Larungan diawali penyembelihan wedus (kambing). Bukan sembarang ternak. Melainkan wedus kendit yang dianggap sebagai kekayaan berharga masyarakat. Ternak disembelih siang sebelum malam Suro. Proses berlanjut pada malam harinya. Sebelum kalender berganti, para tetua mengadakan kegiatan tirakatan. Kegiatan kenduren digelar di pendapa kecamatan. Dalam acara tersebut, para sesepuh terpilih tampil memberikan ceramah. Piwulang menggunakan bahasa Jawa Krama alus.

’’Para sesepuh selalu mengajak berbuat baik. Menjaga hawa nafsu dan menolong sesama,’’ ungkap Koordinator Acara Larungan Hartono. Prosesi tirakatan berlanjut ke seribu dian (obor permanen). Seribu pemuda berjalan kaki mengelilingi telaga sepanjang 5,5 kilometer. Mereka membawa oncor (obor yang bisa ditenteng). Para pemuda tidak boleh nakal.

Saat berjalan, mereka harus menjaga lisan. Diam sambil berdoa dalam hati. Mereka harus melakoni lampah ratri sambil menyucikan pikiran dan kalbu. Tahun baru harus lebih baik. Ritual melarung buceng alit mengakiri acara malam hari. Detik-detik itu paling menarik perhatian masyarakat. Kembalinya Sa’kun ke dermaga membuat lega. Masyarakat antusias menyaksikan, meski suasana gelap dengan dinginnya air telaga.

Keesokan harinya prosesi larungan lebih meriah. Dua tumpeng besar disiapkan. Buceng lanang untuk dilarung, buceng wadon diberikan kepada masyarakat. Ritual diiringi gendhing (musik tradisional Jawa) dengan sinden (penyanyi). ’’Sebelum dilarung atau dipurak, buceng harus diarak keliling. Supaya masyarakat bisa melihatnya,’’ ungkap Hartono.

Acara larungan 1 Suro melalui sebuah upacara. Setelah diarak, dua tumpeng setinggi dua meter itu lantas dipisah. Buceng lanang dilarung ke tengah telaga. Nah, buceng wadon dibawa ke tengah jalan di pinggir telaga. Kali ini Sa’kun dipercaya lagi membawanya. Dia dibantu masyarakat setempat mendorong tumpeng besar menengah.(Eko Hendri Saiful/c4/dos)