25 radar bogor

Perjuangan Pengungsi Gunung Agung Menyeberang ke Lombok dengan Perahu Kayu

PENGUNGSI: Lalu Muhidin bersama istrinya Sawinah menemani anaknya yang sedang tertidur pulas di berugak keluarganya yang ada di Dusun Pelampat Desa Meninting Kecamatan Batulayar, Minggu lalu (1/10).Zulkifli/Radar Lombok
PENGUNGSI: Lalu Muhidin bersama istrinya Sawinah menemani anaknya yang sedang tertidur pulas di berugak keluarganya yang ada di Dusun Pelampat Desa Meninting Kecamatan Batulayar, Minggu lalu (1/10).Zulkifli/Radar Lombok

Para pengungsi dari Karangasem yang menggunakan perahu kayu ke Lombok Barat dihajar ombak besar selama berjam-jam. Hanya mampu bayar untuk satu orang naik feri demi mengamankan harta paling berharga: sepeda motor.

ZULKIFLI, Lombok Barat

ANAK-anak menangis. Sebagian menjerit ketakutan. Sebagian lainnya muntah-muntah. Pakaian puluhan orang yang berimpitan di perahu kayu itu juga basah semua.

Di tengah Selat Lombok pada Minggu siang itu (24/9), perahu yang dinaiki para pengungsi Gunung Agung dari Karangasem, Bali, tersebut tak henti dihajar ombak. Sedangkan Pulau Lombok yang dituju belum kelihatan seujung kuku pun. Dari berusaha menyelamatkan nyawa, kini nyawa mereka kembali terancam…

Keputusan itu diambil Lalu Muhidin dengan tidak mudah. Dia harus mem­berangkatkan istri, tiga anak, seorang keponakan, dan seorang adik ipar naik perahu kayu ke Lombok.

Sebab, tempat tinggalnya di Dusun Ujung Desa, Kecamatan Karangasem, yang hanya berjarak 10 kilometer dari Gunung Agung masuk zona merah.

’’Kebetulan ada saudara suami yang menikah dan menetap di Desa Meninting, Lombok Barat, menelepon dan mengajak kami mengungsi untuk sementara waktu ke sana,’’ kata Sawinah, istri Muhidin, kepada Radar Lombok (Jawa Pos Group) yang menemui­nya pada Minggu (1/10).

Ketika itu mereka sebenarnya sudah tinggal di pengungsian untuk beberapa waktu. Menginap saat malam dan kembali ke rumah ketika pagi.

Tapi, agar benar-benar aman, keputusan berat itu pun harus diambil Muhidin. Padahal, sebagai nelayan, dia tahu, ombak di selat yang memisahkan Pulau Bali dan Pulau Lombok tersebut dikenal besar. Dan, butuh empat sampai lima jam untuk bisa sampai ke tempat tujuan di Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Pertimbangan ekonomilah yang jadi alasan. Ongkos feri Bali–Lombok yang seharga Rp129 ribu per orang terlalu berat untuk dia tanggung. Apalagi pesawat.

Akhirnya, berangkatlah istri, anak, adik ipar, dan keponakan Muhidin bersama beberapa tetangga dengan menggunakan perahu dengan membawa barang seadanya. Biaya yang dikeluarkan hanya patungan untuk membeli bahan bakar.

Muhidin? Dia terpaksa berangkat terpisah dengan menggunakan feri karena membawa harta keluarga yang paling berharga: sepeda motor. ’’Tak banyak yang bisa dibawa. Rumah di sana (Karangasem) juga tidak ada yang jaga karena semua mengungsi,’’ kata Muhidin.

Seperti Muhidin, para tetangga yang ikut naik perahu kayu atau feri rata-rata memiliki keluarga di Lombok. Jadi, mereka pun ditampung di rumah keluarga masing-masing.

Memang banyak kampung atau desa di Karangasem yang dihuni warga keturunan etnis Sasak dari Lombok. Itu terkait dengan sejarah penguasaan Kerajaan Karangasem atas Lombok sejak abad ke-16.

Keturunan Sasak itu tersebar di enam dari delapan kecamatan di kabupaten paling timur di Bali tersebut. Yang terbesar ber­ada di Kecamatan Karangasem.

Selama berabad-abad sampai kini, harmoni antara warga Hindu Bali dan muslim Sasak di Karangasem itu terjaga dengan baik. ’’Jadi, banyak di desa saya yang namanya Lalu. Saya lahir dan besar di sana,’’ kata Muhidin.

Ombak tak henti-henti menghajar. Kepanikan pun melanda semua yang di dalam perahu kayu kecil itu. Apalagi ditambah tangisan anak-anak.
Ke-20 orang di dalamnya pun cuma pasrah. Hanya bisa saling menguatkan. ’’Kami waktu itu benar-benar takut,’’ tutur Sawinah.

Meski bersuami seorang nelayan, Sawinah mengaku sama sekali belum pernah mengarungi lautan di atas perahu kayu. ’’Kami sama-sama terus berdoa agar bisa selamat sampai tujuan,’’ ungkapnya.

Doa mereka terjawab. Ombak perlahan mereda. Setelah menyeberangi Selat Lombok selama berjam-jam, sampailah mereka di Pantai Meninting dengan selamat.
Kelegaan mereka kian bertambah karena kedatangan mereka langsung disambut hangat warga setempat. Beramai-ramai mereka menyediakan makanan, pakaian, tikar, dan berbagai kebutuhan lain.

Muhidin juga segera melapor secara resmi kepada perangkat desa setempat. Berdasar laporan dari aparat desa, Badan Penang­gulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Barat pun segera bergerak memberikan bantuan.

’’Total pengungsi sejauh ini di Lombok Barat mencapai 97 kepala keluarga dan 315 jiwa,’’ jelas Kepala BPBD Lombok Barat H M. Rum.

Meski lega keluarga selamat dan diterima dengan baik oleh warga Dusun Pelampat, Desa Meninting, Muhidin sangat berharap kondisi Gunung Agung bisa segera normal kembali. Dengan demikian, dirinya, istri, dan anak bisa segera kembali pulang. ’’Kasihan anak-anak tidak sekolah. Itu yang membuat saya kepikiran,’’ katanya. (*/JPG/c5/ttg)