25 radar bogor

E.J. Vence Kandouw, KKO Pengangkut Jenazah Jenderal dari Sumur Lubang Buaya

Lebih dari 50 tahun, E.J. Vence Kandouw tidak menceritakan identitasnya sebagai saksi sejarah. Dia ternyata salah satu anggota dari 12 orang pasukan yang ditugaskan untuk mengangkut para jenazah jenderal yang dihabisi PKI di sumur Lubang Buaya, Jakarta. Kini, setelah 52 tahun peristiwa itu berlangsung, purnawirawan KKO yang kini tinggal di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, itu mulai membuka diri.

Laporan: FREDY RIZKI

LANGKAH tegap khas militer masih terlihat jelas dari gesture E.J. Vence Kandouw (77) ketika wartawan Radar Banyuwangi (Grup Radar Bogor) mengunjungi kediamannya tak jauh dari lampu merah Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Meski kini berusia 77 tahun, pria itu masih tampak cukup bugar.

Vence yang sehari sebelumnya baru tiba dari Surabaya untuk mengunjungi salah satu rekan seperjuangan, langsung paham dengan kehadiran wartawan. Kami pun dipersilakan duduk di ruang tamu.

Tak banyak basa-basi. Vence yang merupakan salah satu dari 12 anggota Pasukan Katak pengangkut jenazah para jenderal korban Gestapu dari sumur Lubang Buaya itu, langsung mengambil beberapa dokumen pribadi.

Setelah membuka sebuah tas bergambar Monumen Kesaktian Pancasila, Vence langsung menggelar beberapa foto lama. Foto-foto hitam-putih itu sudah dilaminating. Di dalam foto itu, kakek lima cucu tersebut menunjukkan satu per satu nama anggota Pasukan Katak yang berdiri berjajar di depan sebuah lubang menganga.

Kemudian, lubang itu dikenal sebagai sumur Lubang Buaya. ”Ini Serma KKO Saparimin, ini Prajurit Komando Satu Subekti, kalau yang ini Kopral RPKAD Anang. Yang dua ini teman saya yang masih hidup, Kopral KKO Sugimin dan Kopral KKO Samuri,” kata Vence sambil memegang foto-foto itu.

Sambil terus memegangi foto-foto tersebut, Vence memulai ceritanya sebelum ditugasi untuk mengangkut jenazah para jenderal Angkatan Darat yang dibunuh oleh PKI dalam tragedi 1965 itu.

Kala itu, sekitar akhir September 1965, Vence mengaku tengah mendapat perintah dari atasannya untuk melakukan pemeriksaan di sepanjang Pantai Ancol, Jakarta. Vence yang merupakan anggota pertama dari Satuan Intai Amfibi Korps Komando Angkatan Laut (KKO) atau yang kini disebut Marinir, setiap hari melakukan penyelaman di pantai tersebut.

Dia ditugasi untuk memastikan Pantai Ancol adalah tempat yang layak untuk pendaratan kapal-kapal perang dan tank amfibi milik angkatan laut. ”Waktu itu Presiden Soekarno ingin melakukan show of force militer angkatan laut. Jadi, kami diminta memastikan kawasan itu aman. Dulu, Ancol lokasinya rawa-rawa! Jangan dibayangkan seperti sekarang,” kata Vence.

Tiba-tiba, di tengah malam 30 September sekitar pukul 23.00, Vence mendapat laporan dari salah satu rekannya jika ada banyak Angkatan Darat yang menggunakan seragam berseliweran. Mereka pun heran dengan situasi itu, karena kala itu jika pasukan menggunakan seragam lengkap maka sedang ada operasi militer atau peristiwa penting. ”Saya sempat bertanya-tanya, apa yang terjadi sampai tentara Angkatan Darat berseragam dan bersenjata,” ujarnya.

Namun, teka-teki itu ternyata baru terjawab keesokan paginya. Sekitar pukul 06.00 pagi melalui siaran RRI, Vence mendengar adanya sebuah gerakan yang disebut Gestapu. Dalam siaran itu disebutkan, bagi mereka yang mau bergabung dalam gerakan itu, terutama tentara, akan dinaikkan pangkatnya dua tingkat. Sedangkan bagi yang mau menjadi simpatisan, akan dinaikkan pangkatnya satu tingkat.

Meski menggiurkan, namun tawaran itu membuat Vence dan kawan-kawannya semakin bingung. Karena mereka berpikir pasti ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Dua hari kemudian, sekitar tanggal 3 Oktober 1965, tiba-tiba turun perintah dari Letnan Satu KKO Mispan yang meminta bantuan Vence untuk mengumpulkan rekan-rekannya.

Saat ditanya untuk apa, atasan Vence saat itu hanya mengatakan, mereka diminta mengambil jenazah para jenderal dari Lubang Buaya. ”Lettu Mispan dimintai tolong Kapten Suhendar dari Kostrad. Katanya perintah langsung dari Pak Harto untuk mengambil jenazah jenderal dari Lubang Buaya, jadi dimintai menyiapkan penyelam. Saya juga bingung waktu itu, akhirnya siapa pun yang saya temui saya ajak untuk ke Lubang Buaya,” terangnya.

Vence yang kebetulan adalah pelatih di Sekolah Intai Amfibi KKO, dengan cepat kemudian menemukan beberapa anggota. Termasuk pasukan KKO yang pernah menjadi muridnya dan pernah dilatihnya. Salah satunya Kopral Sugimin yang masih hidup hingga kini. ”Saya ketemu Sugimin, langsung saya bilang, ‘Ayo, melok neng Lubang Buaya’ (ayo, ikut saya ke Lubang Buaya). Dia bertanya juga, ‘ate laopo?’ (mau apa?) Saya bilang saja tidak tahu. Ada perintah dari atasan. Setelah itu dia juga membantu saya mencari anggota,” ceritanya.

 

Setelah itu, terkumpu 11 orang anggota KKO dan satu orang RPKAD yang langsung diajak Vence untuk melapor ke Lettu Mispan. Mereka langsung dipertemukan dengan Kapten Suhendar. Keesokan harinya, sekitar pukul 04.00 pagi tanggal 4 Oktober 1965, sebanyak 12 penyelam bersama Kapten Suhendar langsung berangkat ke Bandara Halim Perdana Kusuma yang lokasinya dikabarkan berdekatan dengan Lubang Buaya.

Di sana, Vence bersama rombongannya langsung berusaha mencari lokasi Lubang Buaya. Namun, bukannya diarahkan, semua anggota TNI AU yang bertugas di sekitar bandara tidak satu pun yang mengaku mengetahui lokasi Lubang Buaya. Semuanya beralasan tidak tahu dan tidak pernah mendengar lokasi yang disebutkan Vence dan kawan-kawan.

Mereka pun sempat heran lantaran lokasi itu kabarnya adalah area yang cukup diketahui, karena sering menjadi lokasi latihan Pemuda Rakyat dan Gerwani. ”Itu konyol sebenarnya. Mana mungkin mereka tidak tahu. Jika ada kabar bahwa TNI AU menjadi salah satu instansi yang disusupi PKI saat itu, mungkin memang benar. Mereka memang tidak menghalangi kita, tapi tidak memberi tahu,” imbuhnya.

Baru setelah bertanya ke sana ke mari, Vence bersama pasukannya bertemu dengan dua orang petugas Polisi Angkatan Udara (PAU) yang sedang berpatroli. Mereka pun lantas menunjukkan di mana lokasi Lubang Buaya. Selama perjalanan itu, Vence sempat menemui beberapa warga. Mereka juga mengakui jika lokasi Lubang Buaya itu sering digunakan untuk berlatih Pemuda Rakyat dan Gerwani.

Bahkan, saking banyaknya anggota sayap kiri yang berlatih di sana, ketika ditanya warga tersebut mengatakan jumlahnya sampai jutaan. ”Mungkin kalau kita tidak bertemu dengan dua anggota PAU itu, kita tidak akan sampai di Lubang Buaya, karena semuanya tutup mulut. Lokasinya memang tersembunyi dikelilingi perkebunan karet. Tapi, dari jarak 100 meter saja kita sudah bisa mencium bau anyir yang tajam,” tegas Vence.

Begitu tiba di dekat area Lubang Buaya, Vence tak lantas bisa masuk ke dalam lokasi. Karena rupanya sudah ada puluhan baret merah (RPKAD/Kopassus) yang berjaga-jaga di sana.

”Saya maklum, karena mungkin mereka juga menerka-nerka, mana teman dan mana lawan. Saya sempat marah saat itu karena sudah lelah dari pagi menunggu, mau menolong kok dipersulit. Baru sekitar pukul 10.00, Pak Soeharto datang. Lalu Kapten Suhendar melapor dan kita baru bisa masuk ke dalam,” jelas pria berdarah Manado itu.

Setelah berada di dekat Lubang Buaya, kedua belas pasukan itu pun langsung menyiapkan diri untuk menyelam. Namun, setelah melihat lokasi penyelaman, mereka mulai saling pandang. Bahkan saat itu salah satu anggota KKO yaitu Serma Saparimin yang pernah sekolah menyelam di Rusia tidak berani masuk ke dalam Lubang Buaya. ”Kata Serma Saparimin berisiko. Takut ada granat atau ranjau. Karena di kalangan militer memang ada jebakan seperti itu. Tapi saya bujuk dia supaya mau, saya bilang sudah serahkan saja sama Yang di Atas, dan akhirnya dia mau,” ujar Vence sambil tersenyum.

Tak lama setelah menyelam, satu per satu jenazah mulai bisa diangkat. Vence menceritakan, kondisi di dalam lubang sangat gelap. Padahal saat itu kondisi siang hari. Ditambah tim penyelam sudah menyediakan lampu penerang 1.000 watt yang diletakkan di dalam lubang. Agar tak menyeruak baunya, berbungkus-bungkus karbol juga sempat dimasukkan ke dalam lubang. Namun, hal itu menurutnya tidak banyak membantu.

Jenazah yang pertama kali berhasil diangkat adalah Lettu CZI Pierre Tendean. Vence menggambarkan, kondisi Pierre Tendean saat itu dapat dibilang cukup bersih karena hanya mendapat luka tembak di bagian dada. Lalu berturut-turut jenazah jenderal lainnya mulai ditemukan. Yang paling diingat salah satunya menurut Vence adalah jenazah Jenderal Ahmad Yani dan Brigjen Sutoyo yang diangkat secara bersamaan. ”Kalau saya kan kurang begitu kenal dengan para jenderal itu, yang tahu para anggota Angkatan Darat. Saya ingat sekali waktu Jenderal A. Yani diangkat, semuanya langsung bereaksi. Kemudian saya lihat ada luka sayatan melingkar di lehernya, sampai nyaris putus. Begitu diangkat kepalanya langsung berputar ke samping. Saya ingat sekali itu,” tegas Vence sambil terus berdecak.

Dari kondisi jenazah yang ditemukan, Vence pun berkesimpulan mengenai kondisi para korban sebelum dibunuh. Jenderal A. Yani, kata Vence, diangkat dalam kondisi masih menggunakan piyama. Kemudian Jenderal Suprapto masih mengenakan sarung. Hanya D.I. Panjaitan yang meninggal dengan menggunakan seragam TNI yang lengkap. ”Kondisinya mengenaskan. Semuanya dengan posisi kepala di bawah. Saya langsung berpikir, bagaimana bisa ada orang sekejam itu. Enam jenderal dalam semalam! Di perang dunia saja, tidak ada yang seperti ini,” tutur Vence.

Dia juga menceritakan, selain Pasukan Katak yang dibawanya, sebelumnya juga sempat ada beberapa orang yang diperintahkan untuk masuk ke sumur Lubang Buaya. Tetapi mereka hanya dibekali masker dan tidak ada satu pun yang kuat masuk Lubang Buaya. ”Sebelumnya ada orang-orang yang disuruh masuk ke sana. Sepertinya para tahanan, tapi tidak ada yang mampu. Baru setelah kita yang masuk, semua jenazah bisa diangkat. Semuanya langsung dibawa ke dalam peti dan dibawa ke RSPAD,” terangnya.

Pasca peristiwa pengangkatan jenazah para jenderal itu, Vence pun kembali ke aktivitas semula. Atas jasanya, Vence pernah menjadi ajudan KSAL R.E. Martadinata. Namun, dampak dari Gestapu menurutnya masih cukup terasa. Karena tersiar kabar jika akan ada Gestapu jilid 2 yang menyasar jenderal-jenderal yang tersisa seperti Soeharto.

Masa-masa itu merupakan salah satu sejarah yang cukup kelam bagi masyarakat Indonesia. Vence juga sangat setuju jika pemutaran film G 30 S/PKI kembali diputar. Karena menurutnya, sekelam apa pun sejarah, tetap harus diungkapkan. ”Saya mendukung kalau film itu diputar. Saya juga baru kali ini bisa menceritakan pengalaman saya kepada media dan ke mana-mana. Mumpung saya masih hidup, saya bisa menceritakan bagaimana sebenarnya kisah Gestapu itu terjadi,” pungkasnya.(bay/c1)