25 radar bogor

Di Balik Keberhasilan Grandprix Thomryes Marth Kadja Jadi Doktor Termuda

BANGGA : Grandprix Thomryes Marth Kadja meraih cum laude dalam sidang terbuka di Gedung Annex, Rektorat ITB, Jumat (22/9).
BANGGA : Grandprix Thomryes Marth Kadja meraih cum laude dalam sidang terbuka di Gedung Annex, Rektorat ITB, Jumat (22/9).

Grandprix Thomryes Marth Kadja jatuh cinta dengan kimia karena cara mengajar sang guru di SMA yang asyik. Menolak tawaran beasiswa dari luar negeri agar tak kagok saat mengaplikasikan ilmu.

FERLYNDA PUTRI, Bandung

MATA Yoram Angelina Koy berkaca-kaca. Berkali-kali dia mengucapkan selamat kepada anak muda di hadapannya.

Tepukan hangat sesekali pula dia daratkan ke bahu Grandprix Thomryes Marth Kadja, anak muda tersebut. Sebab, setelah meraup cum laude dalam sidang terbuka di Gedung Annex, Rektorat Institut Teknologi Bandung, Jumat lalu (22/9), sejarah besar ditorehkan pemuda 24 tahun itu: menjadi doktor termuda di Indonesia.

Angelina bersyukur karena bisa turut menyaksikan langsung kesuksesan tersebut di Bandung. ”Setelah (Grandprix, red) lulus SMA, kami tetap menjalin komunikasi. Jadi, saya tahu kabarnya,” tutur guru kimia itu tentang muridnya di SMA Giovanni, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tersebut.

Seperti namanya yang mencerminkan balapan, kiprah akademik Grandprix memang kencang sekali. Setelah lulus S-1 pada usia 19 tahun di Universitas Indonesia, Grand­prix melanjutkan ke jenjang S-2 dengan beasiswa pendidikan magister menuju doktor untuk sarjana unggul (PMDSU) Kemenristekdikti. Waktu untuk menempuh pendidikan S-2 sekaligus S-3, dua-duanya di ITB, empat tahun.

Untuk disertasi, Grandprix mengangkat topik zeolit sintesis, mekanisme, dan peningkatan hierarki zeolit ZSM-5. Zeolit merupakan zat kimia yang bisa mempermudah penyaringan zat yang tidak diperlukan di industri petrokimia.

”Saya senang kimia karena guru SMA saya asyik,” tutur Grandprix seusai sidang disertasi sembari mengarahkan pandangan kepada sang guru.

Grandprix menyukai model mengajar Angelina yang membuat kimia mudah dia pahami. Dia pun akhirnya menemukan keasyikan, mendalami mata pelajaran tersebut.

”Dia memang murid yang tekun. Setiap materi pelajaran baru selalu bisa dia kuasai dengan mudah,” kata Angelina.

Dua tahun menyelesaikan SMA, Grandprix mengambil pendidikan S-1 di Universitas Indonesia pada usia 16 tahun. Jurusan kimia menjadi pilihannya.

Untuk meraih gelar sarjana, pria kelahiran Kupang itu hanya membutuhkan waktu 3,5 tahun. Selanjutnya, dia meraih beasiswa pendidikan magister menuju doktor untuk sarjana unggul (PMDSU).

Program beasiswa PMDSU dia selesaikan tepat waktu. Dia menyabet gelar master sekaligus doktor dalam waktu empat tahun.

Sembilan jurnal berskala nasional maupun internasional sudah dia terbitkan. Untuk disertasi, dia melanjutkan penelitian pada tesisnya mengenai zeolit. Grandprix tergerak untuk meneliti zeolit lantaran prihatin terhadap industri di Indonesia yang bergantung pada bahan impor. ”Saya mencoba menciptakan bahan kimia tersebut. Namun, ini masih skala laboratorium,” kata putra pertama Octavianus Kadja dan Yeang Kadja Do Djeta itu.

Untuk menerapkan bahan kimia tersebut ke industri, Grandprix mengaku masih perlu penelitian yang lebih panjang lagi. Selain itu, penerapannya membutuhkan kerja sama lintas sektor seperti teknik kimia. ”Ibarat rumah, saya sudah menemukan fondasinya. Nah, ini tinggal dilanjutkan,” tutur Grandprix.

Grandprix justru bingung ketika ditanya soal gaya belajarnya sehingga bisa menjadi doktor termuda. Dia tidak merasa bahwa gaya belajarnya istimewa. Bahkan, dia mengaku bukan tipe orang yang belajar terus-menerus.

”Saya kan makhluk sosial, tidak belajar terus. Harus ada waktu untuk teman dan keluarga juga,” ujarnya.

Sang ayah, Octavianus, membenarkan pernyataan Grandprix. Dia jarang melihat anaknya tersebut memforsir diri untuk belajar. ”Tapi, anak saya sejak kecil diajari untuk tertib,” tuturnya.

Bapak tiga anak itu men­contohkan, anaknya harus datang tepat waktu ke sekolah. Tidak boleh terlambat.
Didikan orang tua tersebut ternyata dibawa Grandprix hingga kuliah S-3. Rino Mukti, dosen pembimbing Grandprix, menuturkan bahwa mahasiswa­nya itu seorang yang konsisten.

Grandprix selalu bekerja saat jam kuliah. Pagi hingga sore. Jika waktunya untuk membaca jurnal, itu pula yang akan Grandprix lakukan. ”Dia lakukan sesuai jadwal. Grandprix ini juga orang yang tidak mau kalah,” ungkap Rino.

Sikap tidak mau kalah Grandprix, menurut Rino, sangat baik. Sebab, itu mendorong Grandprix untuk terus berusaha meng-upgrade diri.

Jika orang lain bisa, dia harus bisa. Termasuk juga memotivasinya untuk melakukan penelitian seperti peneliti asing. ”Grandprix ini selalu ingin menjadi lebih baik tanpa pernah ’menyikut’ temannya untuk mendapatkan keinginannya. Dia justru membantu,” tutur Rino.

Kecintaan Grandprix terhadap Indonesia begitu luar biasa. Grandprix sebenarnya pernah mendapatkan tawaran beasiswa ke luar negeri. Namun, tawaran itu dia tolak.

”Dengan belajar di universitas dalam negeri, saya jadi tahu iklim di sini sehingga ketika diaplikasikan (ilmunya, red) tidak kagok. Kalau belajar di luar negeri, pulang ke tanah air harus menyesuaikan diri lagi,” terang Grandprix.

Seusai sidang, Grandprix mendapat kejutan dari Prof Satria Bijaksana, ketua sidang terbuka disertasi. ”Saya akan melanggar peraturan sidang disertasi karena sidang kita kali ini istimewa,” ucapnya melalui mikrofon.

Satria lantas mengeluarkan telepon seluler. Nada dering terdengar dari ujung telepon. ”Halo, silakan Anda berbicara,” ujar Satria kepada seseorang di ujung telepon.

”Selamat ya, Grandprix. Kamu telah mengharumkan nama Nusa Tenggara Timur. Kamu juga telah menginspirasi pemuda di sini,” kata pria di ujung telepon.

Pria tersebut adalah Gubernur NTT Frans Lebu Raya. Senyum pun langsung tersungging di bibir pria berkulit cokelat itu. Grandprix tidak berpuas diri. Dia yakin masih banyak yang harus diungkap dengan penelitian. Setelah ini, Grandprix ingin menjadi dosen. Dia ingin terus meneliti sekaligus mengajarkan ilmunya. ”Doakan saja bisa diterima di ITB,” ucapnya.(*/c11/ttg)