25 radar bogor

Di Bawah Tekanan,Bisa Dapat Keringanan

Tersangka utama dalam kasus tewasnya Hilarius adalah lawan duel korban yakni BV. Meski begitu, BV bisa mendapat keringanan hukuman karena berada di bawah tekanan dan terpaksa melakukan duel serta pemukulan kepada korban. “Kalau dia tidak memukul akan dianiaya seniornya,” kata Dirkrimum Polda Jabar Kombes Umar S Fana kepada pewarta.

Keringanan hukuman itu diatur dalam pasal 48 KUHP yang menyatakan: “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Meski begitu, tersangka tetap diproses hukum dan dibidik pasal yang sama dengan tersangka lain, yakni UU Anak pasal 76 dan 80 yang ancamannya 15 tahun penjara.“Nanti biar hakim yang menilai, kami penyidik hanya memberikan pandangan,” tegasnya.

Umar menjelaskan, budaya adu bom-boman atau duel ala gladiator ini sudah berlangsung sejak 2010. Antara dua sekolah itu, siswa junior oleh senior dan alumni dipaksa bertarung duel, biasanya lima lawan lima.

“Mereka kalau tidak mau duel diancam sama senior dan alumni. Jadi, mereka akhirnya terpaksa melakukan di bawah tekanan,” urai Umar.
Saat bertarung, korban Hilarius masih duduk kelas 1 SMA. Dia diadu dengan lawannya dari SMA Mardi Yuana. Saat itu, mereka yang ketahuan bertarung dikeluarkan dari sekolah.

Namun kemudian, orang tua Hilarius mencurahkan ketidakadilan yang dialami putranya yang tewas tanpa diusut pidana. Polda Jabar dan Polresta Bogor akhirnya bergerak dan mengungkap kasus ini.

Total ada lima tersangka yang ditetapkan; tiga orang menjadi promotor perkelahian, seorang menjadi wasit, dan seorang tersangka siswa yang bertarung. Empat tersangka kini sudah ditahan di Mapolresta Bogor Kota.

Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti berpendapat, peristiwa yang menyebabkan tewasnya Hilarius, dalam konteks hukum, biar berproses sesuai dengan fakta dan mekanisme hukum yang berlaku. Terlebih, para tersangka sudah ditangkap.

“Nah, yang perlu diperhatikan adalah kepastian korban dan para tersangka mendapatkan keadilan sesuai dengan hukum acara yang berlaku,” ujarnya kepada Radar Bogor.

Terpenting, kata dia, adalah bagaimana ke depannya agar peristiwa serupa tidak terulang lagi. Seperti yang telah disuarakan KPAI sejak lama, bagaimana mengatasi persoalan kekerasan yang masih saja terjadi di dunia pendidikan.

Sementara itu, Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Fahriza, mem­perta­nyakan kepedulian masyarakat sekitar terkait aksi kenakalan remaja yang brutal di Kota Bogor. Itu mengingat tempat terjadinya kasus ini pada sebuah taman (ruang terbuka/ ruang publik).

“Mengapa masyarakat yang lalu lalang di taman tersebut tidak berusaha mencegah tarung ala gladiator tersebut? Di sinilah sebenarnya letak pentingnya keberadaan PPK (penguatan pendidikan karakter) seperti yang digagas oleh Presiden Jokowi, sesuai dengan Konsep Tripusat Pendidikan KH Dewantara,” kata dia.

Sehingga, masyarakat wajib terlibat aktif dalam setiap usaha pendidikan. Patut dicatat, bahwa pendidikan yang sebenarnya bukan hanya terjadi di sekolah, melainkan di keluarga dan masyarakat juga.

“Menjadi tugas berat bagi Kemendikbud untuk memfor­mulasikan implementasi dari PPK ini, sehingga tidak muncul asumsi bahwa dengan semakin lama anak di sekolah maka akan semakin kecil kemung­kinan siswa mengalami pele­mahan karakter. Kemen­dikbud harus melakukan penetrasi ke keluarga dan masyarakat melalui pemerintah daerah,” cetusnya.

Fahriza menambahkan, ada benang merah dalam setiap kasus kekerasan di sekolah yang berkaitan dengan kegiatan ekstrakurikuler. Yakni, selalu ada keterlibatan senior. Demikian juga halnya dengan kasus Hilarius.

“Maka, harus ada upaya untuk memutus mata rantai keterlibatan senior ini dalam setiap kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Sekolah harus mampu meng­iden­tifikasi sedini mungkin senior-senior yang mungkin mela­kukan kekerasan,” imbuhnya.

Demikian juga dengan kuri­kulum kegiatan ekstrakurikuler di sekolah harus dibuat sebaku mungkin untuk meminimalisasi berbagai tindakan kekerasan pada kegiatan ekstrakurikuler.

“Jangan sampai pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler dengan penambahan jam belajar sekolah semakin membuka atau menambah ruang terja­dinya tindak kekerasan di sekolah,” tukasnya. (ric/net)