25 radar bogor

Di Balik Berdirinya Perpusnas Baru, Perpustakaan Tertinggi di Dunia

CANGGIH: Para pengunjung menikmati fasilitas perpustakaan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Jumat (15/9/2017).Foto: Imam Husein/Jawa Pos
CANGGIH: Para pengunjung menikmati fasilitas perpustakaan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Jumat (15/9/2017).Foto: Imam Husein/Jawa Pos

Selain jutaan koleksi, Perpusnas dilengkapi fasilitas untuk mengakses buku-buku di ratusan perpustakaan se-Indonesia. Berada di ring satu pemerintahan, pembangunannya pun melibatkan konsultasi dengan Sekretariat Militer dan Paspampres.

JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Jakarta

PERJALANAN Noviyani Rahayu dan Madon Nasution menempuh kemacetan Jakarta itu berbuah kejutan menyenangkan. Gedung Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang mereka tuju ternyata sekarang berubah total: lebih menjulang, tambah luas, dan fasilitasnya kian lengkap.

”Sempat foto-foto tadi di depan tumpukan buku di lantai 1, hehehe,” kata Noviyanti, mahasiswi Universitas Trilogi, Jakarta, yang bermaksud mendaftar jadi anggota.

Dia dan Madon mengaku sempat datang ke Salemba, tempat lama gedung Perpusnas. ”Ternyata disuruh ke sini langsung. Bagus sekali, dulu hanya 3 lantai sekarang 24 lantai ya,” kata Madon yang sekampus dengan Noviyanti.

Gedung Perpusnas baru itu kini berlokasi di Jalan Medan Merdeka Selatan 11. Persis di seberang pintu parkir kendaraan area Monumen Nasional (Monas).

Dengan 24 lantai dan tinggi total 126 meter, Perpusnas diklaim sebagai perpustakaan tertinggi di dunia. Meski untuk ukuran luas, masih kalah oleh Library Congress di Amerika Serikat.

Diresmikan Presiden Joko Widodo pada Kamis lalu (14/9), tiap lantai di gedung tersebut punya fungsi berbeda. Di lantai 1, misalnya, ada lobi utama dengan rak buku setinggi 4 lantai atau 14 meter yang banyak mengundang ketertarikan siapa saja untuk berfoto di sana, seperti yang dilakukan Noviyani dan Madon tadi.

Di lantai itu pula diletakkan lukisan seluruh presiden Indonesia. Dipajang bersama dengan 5–9 buku yang berhubungan dengan tiap kepala negara. Mulai Soekarno hingga Jokowi.

Di lantai 2 ada ruang layanan keanggotaaan perpustakaan dan ruang teater. Kemarin tampak puluhan orang tertib menunggu di sofa empuk untuk didaftar jadi anggota.

Zona promosi budaya baca berada di lantai 3. Sedangkan di lantai 4 ada ruang pameran koleksi perpustakaan. ”Lantai berikutnya ada ruang pustakawan, disusul ruang untuk pusat data. Layanan untuk buku dan tempat membaca dimulai dari lantai 7, yakni, untuk anak, lansia, dan disabilitas,” kata Kepala Perpustakaan Nasional Muh. Syarif Bando.

Lantai-lantai berikutnya secara berurutan ditujukan untuk audiovisual, layanan naskah Nusantara, layanan deposit, monogram tertutup, ruang baca pemustaka, repositori terbitan karya Indonesia, layanan koleksi buku langka, dan layanan referensi.

Sedangkan pengunjung yang ingin mencari koleksi foto, peta, dan lukisan bisa menemukan di lantai 16. Lantai 17 dan 18 dipergunakan untuk Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Lantai 19 untuk layanan multi­media. Adapun koleksi berkala mutakhir seperti surat kabar, majalah, tabloid, dan jurnal bisa didapati di lantai 20.

Selebihnya, lantai 21-22 dipakai untuk layanan monogram terbuka. Berikutnya untuk layanan koleksi bangsa-bangsa di dunia dan majalah terjilid. Sedangkan lantai teratas menyediakan koleksi budaya Nusantara, executive lounge, dan ruang penerimaan tamu mancanegara.

Menurut Syarif, gedung di lahan seluas 11.975 meter persegi itu sejatinya sudah dikonsep sejak zaman Presiden Pertama Indonesia Soekarno. Persisnya pada 1952 atau 65 tahun lalu.

Konsepnya keseimbangan Silang Monas. Di Jalan Medan Merdeka Utara ada Istana Merdeka sebagai pusat pemerintahan. Lalu, di Medan Merdeka Barat ada Museum Nasional sebagai tempat menunjukkan kekayaan bangsa, dan di Medan Merdeka Timur ada Galeri Nasional.

Koleksi Perpusnas sekarang mencapai 4 juta buku. Gedung yang sekarang didesain bisa menampung semua koleksi sampai 50 tahun ke depan.
Hingga setengah abad ke depan, koleksi Perpusnas diperkirakan bakal mencapai 50 juta buku. ”Tiap tahun ada 200 ribu eksemplar yang diserahkan ke Perpusnas,” katanya.

Wacana untuk membangun gedung baru itu digencarkan lagi pada 2009, setelah gedung lama di Salemba kian kewalahan. Digelarlah sayembara peran­cangan gedung perpustakaan.

Terpilihlah karya arsitek lulusan Universitas Gadjah Mada R.B.B. Diwangkoro. Konsepnya, the window of the world alias jendela untuk menatap dunia.

”Kami ajukan ke Bappenas, Kemenkeu, dan DPR pada 2010, tapi gagal. Karena kondisi keuangan belum mendukung. Begitu pula pada 2011,” kata alumnus Jurusan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar, itu.

Tahun berikutnya, pada 2012, tim dari Perpusnas bertemu Jokowi yang saat itu menjabat gubernur DKI Jakarta. Gayung bersambut. Jokowi memberikan sinyal setuju dan menandatangani surat penggunaan lahan.

Itulah yang menggugah DPR di komisi X, Kemenkeu, dan Bappenas untuk turut peduli. Tim Perpusnas pun bergegas menyiapkan dokumen pelengkap. Di antaranya, pemeriksaan dari BPKP, penjelasan dari Kemen­terian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai gedung untuk layanan publik, serta analisis teknik dari Kementerian Pekerjaan Umum. Dokumen itu lantas diserahkan kepada Kemenkeu untuk pendanaan pada 2013.

”Keluarlah persetujuan dari Kemenkeu, 27 Agustus untuk multiyear contract,” ujar Syarif. Tapi, ternyata tidak ada tambahan dana untuk pembangunan gedung tersebut. Total dana yang dibutuhkan Rp465 miliar. ”Terserah Perpusnas, kalau mau kencangkan ikat pinggang, kita bangun,” imbuhnya.

Jadilah, mereka harus mengen­cangkan ikat pinggang selama tiga tahun. Kontrak dimulai pada November 2014 dan selesai pada Desember 2016.
Lantaran berada di ring satu pusat pemerintahan, pemba­ngunan gedung dengan luas bangunan 50.917 meter persegi itu pun harus mendapatkan persetujuan Sekretariat Militer dan Paspampres untuk faktor keamanan. Khususnya jarak tembak ke arah istana.

”Diukur pakai alat dulu. Tetap menghadap ke istana, tapi dipastikan tidak akan ada pendaratan-pendaratan di atas (gedung, red),” kata Syarif yang juga dosen mata kuliah gedung dan tata ruang perpustakaan itu.

Selain itu, saat pembangunan pun tidak bisa sembarangan. Sebab, bagian depan gedung tersebut merupakan bangunan cagar budaya. Sebuah rumah yang dulu jadi tempat tinggal gubernur Hindia Belanda itu kini dimanfaatkan untuk Hall of Fame berisi sejarah aksara dan penuturan.

Sebelum memulai konstruksi gedung perpustakaan itu, bangunan cagar budaya tersebut harus dilindungi dengan mem­buat pagar pelat baja hingga ke bawah tanah di sekeliling bangu­nan. Fondasi gedung ditancapkan dengan cara dibor.

”Tanah hasil galian itu baru boleh keluar masuk pada pukul 22.00 hingga 04.00 dan setelah itu jalan harus bersih kembali. Karena ini ring satu kan,” jelas mantan kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengembangan Minat Baca Perpusnas itu.

Tapi, gedung itu akhirnya bisa selesai dua bulan lebih cepat dari waktu yang direncanakan. Syarif menuturkan, dirinya ikut merancang interior gedung tersebut.(*/c10/ttg)