25 radar bogor

Bawa Tiga Anak, Berlindung Dulu Dua Hari di Hutan

MENGUNGSI: Pengungsi Rohingya berjalan melalui sawah setelah melintasi perbatasan Bangladesh-Myanmar di Cox’s Bazar, Bangladesh.
MENGUNGSI: Pengungsi Rohingya berjalan melalui sawah setelah melintasi perbatasan Bangladesh-Myanmar di Cox’s Bazar, Bangladesh.

Sittwe dipenuhi puluhan kamp pengungsi dari berbagai agama yang terkena dampak konflik Rohingya. Umumnya, yang menghuni penampungan adalah perempuan dan anak-anak. Para suami bertahan di tempat asal untuk menjaga harta masing-masing.

Laporan: DHIMAS GINANJAR, Sittwe, Myanmar

YANG ditunggu-tunggu para penghuni biara meditasi di Sittwe itu akhirnya datang. Bergalon-galon air minum yang diangkut sebuah mobil pikap putih. Tidak lama berselang, Jumat sore lalu itu (8/9) seorang laki-laki datang dengan membawa jajanan. Kalau sebelumnya yang merubung air minum para nenek dan ibu-ibu muda, kali ini giliran anak-anak kecil dengan bedak thanaka di wajah.

Mereka menengadah dan menjulurkan tangan untuk mendapat kue dari pria itu. Setelah mendapatkan yang diinginkan, dengan segera mereka bermain. Ada yang berlari-larian, menggambar, sampai bermanja-manja dengan sang ibu. Kegembiraan khas para bocah yang terlihat seperti tak menyisakan jejak kesusahan.

Padahal, bersama para orang tua, mereka sudah lebih dari dua minggu tinggal di penampungan pengungsi itu. Mayoritas pengungsi berlindung di sana tiga hari setelah konflik Rohingya meletus pada 25 Agustus lalu.

Biara meditasi tersebut hanya satu di antara 20 lokasi penampungan umat Buddha di Sittwe. Jumlah pengungsi di tiap penampungan berbeda. Di biara meditasi itu, ada 80 laki-laki dan 152 perempuan. Di setiap pintu masuk, ada beberapa biksu yang ikut menjaga.

Ya, konflik itu memang tak hanya berdampak pada kelompok muslim Rohingya. Tapi juga pemeluk agama lain yang berdomisili di sekitar episentrum konflik di Distrik Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Dari Sittwe, ibu kota Rakhine, Maungdaw terpisah jarak sekitar 100 km. Shosho (35) salah seorang pengungsi dari Desa Mawyawaddy, mengaku memutuskan untuk lari pada 24 Agustus malam. Saat itu benih-benih konflik mulai muncul.

Dia baru sampai di Sittwe pada 28 Agustus, setelah dua hari berlindung di hutan. ”Sewa perahu dan mobil. Satu orang bayar 10 ribu kyat (sekitar Rp100 ribu, red),” ujar ibu tiga anak itu.

Dia ingat betul, sebelum memutuskan untuk lari, ada kelompok yang mulai menyerang dan membakar desa tempat tinggalnya. Belakangan, militer Myanmar berusaha untuk mengamankan situasi. Shosho tidak yakin apakah yang melakukan serangan itu Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

ARSA-lah yang menyerang pos-pos keamanan yang lantas dijadikan alasan militer Myanmar untuk melakukan pembalasan. Buntut pembalasan brutal itu, 400-an warga Rohingya tewas dan hampir 300 ribu lainnya mengungsi ke Bangladesh.

Rakhine, yang dulu bernama Arakan, terbagi menjadi lima distrik. Sittwe merupakan yang terluas dengan wilayah 12,5 ribu kilometer persegi. Lalu Mrauk U, Maungdaw, Kyaukphyu, dan Thandwe. Dari lima distrik itu, terdapat 17 township atau kota besar dan 1.064 desa.

Berdasar sensus 2014, penduduk Rakhine mencapai 3.188.807 jiwa. Sebanyak 52,2 persen atau sedikitnya 1,6 juta penduduk beragama Buddha. Sedangkan 42,7 persen atau sekitar 1,3 juta penduduk adalah muslim. Sebanyak 1,8 persen lainnya memeluk Kristen. Sisanya memeluk Hindu serta agama lain.Shosho tidak tahu bakal sampai kapan berada di penampungan. Yang jelas, dia sudah sangat kangen dengan rumah dan suami.

Memang tidak semua yang mengungsi adalah pasangan suami istri. Kebanyakan pria tetap berada di desa untuk melindungi aset masing-masing.

Kerinduan kepada suami dan desa tempat tinggal juga dirasakan Thar Nu Shwe (30) warga Desa Khayaemyaing. Sembari menggendong anak, dia menceritakan bahwa desanya dulu memang didominasi muslim Rohingya. Setelah konflik meletus pada 25 Agustus, dia lari ke Sittwe.”Saya tidak tahu sampai kapan di sini. Suami masih di sana. Tapi, saya belum mendapat kabar apa-apa,” ucap dia. Dia ingin segera pergi karena khawatir dengan kondisi anak-anak. Apalagi, menurut dia, beberapa anak mulai sakit.

Selama berada di penampungan, mereka harus berbagi ruangan dengan puluhan orang. Untuk memisahkan satu area tempat tidur dengan lainnya, mereka menggunakan koper atau tas. Makin tidak sehat karena jemuran atau pakaian kotor digantung di atasnya. Jadi terkesan kumuh.

Selain penampungan Buddha, ada tempat yang dikhususkan untuk pemeluk Hindu. Misalnya Pee Sree Dasha Puja Bari Hindu Temple. Tempat yang tidak terlalu luas itu dihuni puluhan pengungsi. Seperti di penam­pungan lain, pengungsi didomi­nasi perempuan dan anak-anak. Hanya ada sedikit pria.

”Ada kabar penculikan. Banyak laki-laki Hindu yang mati,” terang Maung Hla (39). Konflik yang lantas meletus membuat dia memilih untuk menyelamat­kan diri ke Sittwe. Dia juga berharap konflik segera berakhir sehingga bisa kembali berkum­pul dengan keluarga dalam damai.

Di Maungdaw, ada banyak desa. Berdasar sensus 2014, orang non-Rohingya tinggal di 98 desa. Sedangkan muslim Rohingya mendiami 208 desa. Jumlah penduduk di Maungdaw mencapai 763,844 jiwa dan 80 persen atau 611 ribu di antaranya muslim.(*/c11/ttg)