25 radar bogor

Kamp Pengungsi Muslim, Buddha, dan Hindu Menumpuk di Sittwe,Myanmar

SEPARUH MENCEKAM: Suasana kota Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine, Myanmar.FOTO DHIMAS GINANJAR/JAWA POS
SEPARUH MENCEKAM: Suasana kota Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine, Myanmar.FOTO DHIMAS GINANJAR/JAWA POS

Laporan Wartawan Jawa Pos (Grup Radar Bogor) , Dhimas Ginanjar dari Sittwe, Myanmar

Begitu tiba di terminal kedatangan, petugas bandara dengan segera menghampiri. Maklum, Jawa Pos terlihat sangat mencolok: satu-satunya warga non-Myanmar yang mendarat kemarin siang (8/9). Paspor pun langsung diminta untuk diperiksa.

Tapi, tak ada perangkat elektronik yang digunakan. Petugas itu hanya mencatat data yang diperlukan di sebuah buku. Di bagian bawah mejanya, ada petunjuk 16 daerah yang boleh dimasuki orang asing tanpa izin.

Selamat datang di Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine, Myanmar, zona konflik yang telah menyedot perhatian dunia. Malaise yang mengakibatkan ratusan warga Rohingya tewas dan ratusan ribu lainnya harus mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh.

Jadi, tak mengherankan kalau di Sittwe, semua terasa demikian diawasi. Bukan hanya oleh petugas, tapi juga warga sipil. Konflik dan kekerasan yang berbuntut kritik serta cercaan dari penjuru dunia kepada Myanmar menjadikan mereka gampang curiga. Terhadap segala yang tampak asing.

’’Kalau mau memotret, jangan pakai kamera profesional supaya tidak memancing kecurigaan. Mereka (aparat dan warga sipil) tidak suka,’’ kata Myo Thant Tun, guide yang mendampingi Jawa Pos, mewanti-wanti berkali-kali.

Myo-lah yang membuat pemeriksaan paspor Jawa Pos berlangsung lebih cepat. Jika tak didampingi pemandu setempat, bisa makan waktu lama sekali. Bahkan, tak tertutup kemungkinan diminta kembali ke Yangon, kota tempat Jawa Pos memulai perjalanan.

Ketika memulai perjalanan dari Yangon ke Sittwe dengan pesawat jenis turboprop, Jawa Pos sebenarnya bukan satu-satunya penumpang yang warga asing. Dari 36 kursi, sebagian berasal dari Eropa dan Amerika.

Tapi, semua penumpang non-Myanmar itu turun di Thandwe, kota tempat transit. Thandwe memang destinasi wisata. Dikenal dengan keindahan pantainya. Hanya Jawa Pos yang melanjutkan perjalanan ke Sittwe. Lainnya adalah penumpang lokal yang mengenakan kemeja berwarna cerah dan memakai longyi (sarung khas Myanmar).
Nah, sekeluar dari bandara kecil di Sittwe, taksi yang memanfaatkan modifikasi mobil bak sudah siap menyambut. Itu adalah kendaraan terbaik untuk memasuki Sittwe.

Beranjak dari area bandara, denyut nadi kota langsung terasa. Banyak kendaraan, terutama motor, yang lalu-lalang. Tapi, kebanyakan pengendaranya tidak memakai helm.

Sekitar 10 menit, sudah sampai di jantung kota. Dari jauh, terlihat ada kubah khas masjid. Itu adalah Sittwe Sawduro Bor Masjid.

Tempat beribadah tersebut konon dibangun sejak 800 tahun lalu. Tetapi, begitu mendekat, masjid itu sudah kumuh karena tidak boleh lagi digunakan.
Masjid yang berada di Main Road, Maw Leik Quarter, itu merupakan saksi bisu konflik berkepanjangan antara Rohingya, warga Rakhine, dan pemerintah Myanmar. Karena konflik yang terjadi pada 7 Oktober 2012, masjid serta beberapa guest house di sekitarnya dibakar.

Konflik terbaru meletus pada 25 Agustus lalu. Militer Myanmar melakukan represi besar-besaran sebagai balasan serangan Arakan Army, kelompok militan di kalangan Rohingya, ke pos-pos keamanan.

Buntutnya, empat ratusan korban tewas. Itu versi peme­rintah. Banyak pihak yang meyakini, jumlah korban di lapa­ngan lebih besar. Ribuan peng­ungsi Rohingya juga meng­alir ke Bangladesh yang hanya terpisah 100 kilometer dari Maungdaw, salah satu kota di Rakhine.

Di salah satu pintu masuk masjid di Main Road itu, ada sebuah pos penjagaan polisi berukuran kecil. Karena konflik yang berkepanjangan, Myo Thant Tun menyatakan, sentimen sektarian masih cukup kuat di situ. Karena itu, dia kembali mengingatkan Jawa Pos untuk tidak terang-terangan dalam memotret.

Rakhine, yang dulu bernama Arakan, terbagi menjadi lima distrik. Sittwe yang terluas dengan wilayah 12,5 ribu km2. Lalu, Mrauk-U, Maungdaw, Kyaukphyu, dan Thandwe. Dari lima distrik itu, terdapat 17 township atau kota besar dan 1.064 desa.

Berdasar sensus 2014, penduduk Rakhine mencapai 3.188.807 jiwa. Sebanyak 52,2 persen atau sedikitnya 1,6 juta penduduk di antaranya beragama Buddha. Sedangkan 42,7 persen atau sekitar 1,3 juta adalah muslim. Sebanyak 1,8 persen lainnya memeluk Kristen dan sisanya Hindu serta agama lain.

Warga muslim dari etnis Rohingya umumnya berada di kawasan yang berada di dekat Bangladesh, yakni Maungdaw. Di Sittwe ada, meski jumlahnya tidak banyak. Karena itulah ada masjid berusia 800 tahun di sana.

Karena terkonsentrasi di sekitar Maungdaw, distrik itu pula yang menjadi episentrum konflik selama bertahun-tahun. Dari Sittwe menuju Maungdaw, jaraknya sekitar 100 km.

Sedangkan menuju Buthidaung yang juga menjadi pusat konflik lainnya, jaraknya hanya 90 km. Di luar dua distrik itu, konflik terkait dengan Rohingya jarang terjadi. Di luar Rakhine bahkan belum pernah terjadi.

Pengecualian di luar Maungdaw dan Buthidaung, pada 2012, imbas konflik Rohingya juga merembet ke Sittwe. Peristiwa itulah yang mengakibatkan masjid berusia 800 tahun tadi terbakar.

Kemarin suasana kewaspadaan karena konflik Rohingya memang terasa di Sittwe. Namun, secara umum kehidupan kota berjalan normal. Jalanan cukup ramai dengan sepeda motor mendominasi.

Jalanan utama kota umumnya memiliki lebar 5–6 meter. Cukup untuk arus dua kendaraan berbeda arah. Namun, yang mulus hanya di jalan utama. Begitu masuk jalan yang menuju permukiman, aspalnya rusak.

Di berbagai toko, produk makanan dan minuman dengan merek terkenal juga bisa ditemui. Untuk makanan, warga lebih banyak membuka kedai. Belum ada restoran cepat saji.

Menurut Myo, warga Sittwe dan Myanmar umumnya sedang jengkel dengan berbagai foto yang beredar di internet mengenai Rohingya. Sebab, di mata mereka, banyak hoax yang beredar. Mungkin karena itu, warga selalu memperhatikan jika ada yang memotret. ’’Banyak yang tidak suka karena beritanya dianggap tidak sesuai kenyataan,’’ imbuhnya.

Yang membuat nuansa konflik masih terasa di Sittwe adalah keberadaan 20 kamp pengungsi. Semua kamp itu merupakan buntut kisruh terkini yang mulai meletus 25 Agustus lalu.

Jangan salah, yang menghuni kamp-kamp tersebut bukan hanya warga muslim, tapi juga mereka yang beragama Buddha dan Hindu. Dari jantung kota, ke beberapa kamp pengungsi itu, hanya dibutuhkan waktu kurang dari 15 menit.’’Mereka semua dikumpulkan di sini dari daerah konflik seperti Buthidaung,’’ jelas Myo.

Sebelum mendarat di Sittwe, kabar yang beredar kencang adalah tentang betapa daruratnya kota tersebut. Patroli militer, petugas yang berkeliling dengan senjata, sampai warga yang tidak mau menerima orang asing.

Namun, sepanjang penelusuran ke berbagai sudut kemarin, suasana tidak segenting itu. Tidak –atau setidaknya belum– ada penolakan frontal kepada warga asing. Atau, bisa jadi kabar yang beredar sebelumnya itu bagian dari hoax yang membuat banyak warga Myanmar geram?(ady/c10/ttg)