25 radar bogor

Semoga Ibu Saya Masih Selamat

PEDULI: Masyarakat Profesional Bagi Kemanusiaan Rohingya menggelar aksi di depan Kedubes Myanmar, Jakarta, Sabtu (2/9). FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
PEDULI: Masyarakat Profesional Bagi Kemanusiaan Rohingya menggelar aksi di depan Kedubes Myanmar, Jakarta, Sabtu (2/9). FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

SIDOARJO-Tak ada lagi kiriman foto dan video untuk Hussein Johar dari kampung halaman. Bahkan, sekadar kabar pun nihil. Maklum, Maungdaw, kampung halaman pria Rohingya itu yang terletak di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, tengah diblokade ketat militer. Ketahuan berkomunikasi dengan telepon seluler, risikonya bisa fatal sekali.

’’Biasanya saya kirim foto dan pesan lewat WhatsApp,” tutur pria 31 tahun yang berstatus pengungsi dan menempati apartemen sederhana Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, itu, kemarin (2/9).

Yang biasa dikontak Hussein adalah adiknya, Mohamad Juhar (22) dan ibunya, Halima (55). Dia berkomunikasi minimal seminggu sekali. Entah itu sekadar mengirim pesan ataupun menelepon. ”Semoga ibu saya masih selamat. Sampai sekarang saya coba hubungi, tapi tidak bisa,” lanjutnya.

Sebelum putus hubungan dengan keluarga, Hussein sempat mendapatkan video dan foto yang menggambarkan tragedi di kampung halamannya. Rumah-rumah dibakar dan banyak warga harus mengungsi.

Bahkan, dalam salah satu video berdurasi tiga menit yang dia tunjukkan kepada Jawa Pos (Grup Radar Bogor), terdengar berondongan peluru yang akhirnya membuat warga suatu kampung berlarian ke luar rumah. Menuju ke pematang sawah dan masuk menuju semak belukar yang dipenuhi pepohonan.

Ada 13 pria Rohingya yang berada di Aparna Puspa Agro dan mengantongi kartu pengungsi dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Mereka sudah berada di tempat tersebut lebih dari tiga tahun.

Hidup di pengungsian dan tak bisa berkirim kabar dengan keluarga di rumah yang tengah dalam tekanan penguasa tentu saja sangat membuat hati mereka berkecamuk. ”Dulu rumah kami diambil, motor kami diambil, orang-orang dipukuli, dan sekarang orang-orang mulai ditembaki dan dibunuh. Kami salah apa?” kata Mohammad Suaib, rekan sesama pengungsi Hussein.

Suaib mengaku putus komunikasi dengan keluarganya di Maungdaw sejak 25 Agustus lalu. Menurut dia, yang terjadi saat ini di Rakhine merupakan peristiwa terparah sejak dia meninggalkan Myanmar pada 2005.

Baik Hussein maupun Suaib, mengaku sangat kecewa dengan sikap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi yang seolah menutup mata atas penindasan kepada etnis Rohingya. Padahal, dahulu, Nobelis Perdamaian itu begitu getol menyuarakan hak warga negara dan demokrasi. Khususnya terhadap etnis mayoritas di Myanmar yang tertindas.
”Sekarang sudah dapat Nobel, dia malah diam. Semua orang di sini (pengungsi di Aparna Puspa Agro) dan di rumah saya kecewa,” ungkapnya.

Ketika Suu Kyi diangkat menjadi penasihat negara, kekerasan memang sempat mereda. Tapi, tak berselang lama, kebrutalan terhadap etnis Rohingya kembali memuncak. Bahkan, untuk pergi keluar sekolah dan keluar dari kota, mereka harus mengantongi surat dari pemerintah setempat. ’’Tuara zaogoi iyan tuarar desh no (Kalian pergi sana, ini bukan negara kalian, red),” kata Suaib ketika mengingat umpatan yang pernah dia terima dari pemerintah setempat.

Mereka berharap dunia segera bergerak bersama untuk menolong warga Rohingya. Mereka juga masih menyimpan mimpi bisa pulang lagi ke kampung halaman. Tentu dalam kondisi yang sudah kondusif. ’’Kami salah apa? Kami makan di tanah yang sama, punya mata dan warna kulit yang sama,” kata Suaib.(jos/c17/ttg)