25 radar bogor

Kok Tega Tipu Mualaf

Versi Bareskrim Polri, sebanyak 58.682 orang menjadi korban agen perjalanan umrah, First Travel. Di antara mereka terselip beberapa warga Bogor. Deritanya serupa: duit belasan juta rupiah hilang dan harapan bertamu ke Tanah Suci melayang.

RAUT wajah VN seperti masih menyimpan rasa malu. Dua tahun lalu, kerabat dan relasi sudah dipamiti, ketika ia hendak bertamu ke Tanah Suci. Memang saat itu kerinduannya pada Baitullah me­muncak, setelah ibu rumah tangga ini memu­tuskan untuk menjadi mualaf dengan mengucap dua kalimat syahadat.

[ihc-hide-content ihc_mb_type=”block” ihc_mb_who=”unreg” ihc_mb_template=”3″ ]

“Maka, setelah ada tawaran berangkat umrah dengan biaya murah, saya langsung ambil. Saya ingin sekali ke Baitullah,” tutur warga Pabaton Indah, Bogor Tengah, Kota Bogor, ini kepada Radar Bogor.

Kesedihan VN berlipat, lantaran agen yang merekomendasikan biro perjalanan umrah First Travel adalah sahabatnya sendiri. Dia menuturkan, ketika itu, pertengahan 2015, teman dekatnya tersebut tengah gencar mengajak puluhan orang untuk berumrah dengan paket murah dari First Travel. Dari 40 orang yang ikut, dua di antaranya sempat mengundurkan diri.

“Sahabat saya itu juga bukan orang biasa. Dia pramugari senior (VN menyebut sebuah maskapai terkenal di Indonesia). Pasti mau dong, karena dia pun umrah bukan sekali-dua kali, tapi sering,” tuturnya.

Tak sedikit pun keraguan terlintas di benaknya. Meski sang anak sempat mengingatkan karena janji yang ditawarkan First Travel nyaris tak masuk akal. Tapi kembali lagi, kerinduannya pada Tanah Suci membuatnya nekat untuk tetap mendaftar sebagai peserta.

“Pilih yang murah, katanya, karena sudah ada yang pake FT, bagus dan menjanjikan,” ucapnya mengulangi perkataan sahabatnya kala itu.

Tekad VN bulat. Setelah bongkar-bongkar tabungan, ia mendaftar sekaligus menyetorkan uang booking fee Rp5 juta pada 15 April 2015. VN mendaftar di kantor First Travel cabang Cimanggis, Depok, untuk keberangkatan dua tahun kemudian atau 2017. “Kan berangkatnya dua tahun kemudian, itung-itung, ya, gak papa sambil nabung,” ujarnya.

Setahun kemudian, staf First Travel menghubunginya dan meminta tambahan biaya sebesar Rp9,3 juta. Pihak First Travel juga mengingatkan bahwa pada awal Januari 2017, seluruh biaya keberangkatan sebesar Rp14,3 juta harus sudah dilunasi. Tanpa ragu, permintaan itu pun disanggupinya.

Di awal 2017, keraguan mulai menggelayuti pikiran VN. Benar saja, jadwal keberangkatan pada Februari 2017, batal. Pihak First Travel menyampaikan berbagai alasan seperti koper klien belum siap dikirim, baju harus sudah dijahit, dan ada pemeriksaan meningitis berat yang menjadi kendala.

“Segala macam disampaikan. Janjinya berangkat dua minggu lagi, pending lagi, selalu janji kosong. Sempet ngikutin manasik haji padahal, waktu itu di Masjid Istiqlal,” ungkapnya, seraya menyebut saat itu ia langsung teringat protes sang anak. “Tapi, teman saya ini meyakinkan banget, dia bilang udah banyak terbukti, ini bagus lah, apa lah,” ungkapnya lagi.

Namun, mimpi bertamu ke Tanah Suci seketika sirna, ketika kasus dugaan penipuan First Travel mencuat ke permukaan. Syok, bingung, panik, dan kecewa bercampur jadi satu dalam pikirannya. Bersama sang suami, VN pun melapor ke posko pengaduan korban First Travel di gedung Bareskrim Polri, Jakarta.

“Kemarin disuruh lagi sama ketua grup (kumpulan korban FT), ngirim fotokopi paspor, KK, KTP, dan lain-lain untuk ngurus di Bareskrim. Upaya untuk uang kembali,” ucapnya.

Total kerugian VN atas kasus ini sebesar Rp14.300.000 yang dicicilnya dari 2015. Seperti mayoritas korban, VN mempertanyakan hati nurani pasangan suami istri pemilik First Travel Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan. “Kok tega, saya hanya ibu rumah tangga, uang umrah dari hasil jerih payah sendiri, tidak pakai uang suami. Saya mualaf, saya sempet marah ke temen saya itu bilang segala macam, tapi dia, minta maaf pun nggak,” keluhnya.

Perasaannya makin hancur ketika melihat pemberitaan media tentang gaya hidup pemilik First Travel. Karenanya, ia berharap polisi mengusut tuntas kasus ini, dan menyita aset-aset First Travel dan mengembalikan uang para korban. “Awalnya saya ikhlas. Tapi, daripada uang saya dipakai foya-foya pemilik FT, mending dibalikin. Trauma pasti ada, tapi saya masih kepingin banget umrah,” tukasnya menutup wawancara.

Kisah pilu lainnya dialami Lintang Nurjiwa. Sama seperti VN, warga Cibubur ini mengetahui paket umrah murah First Travel dari teman dan saudara. Bedanya, rekan Lintang mengaku sudah berhasil diberangkatkan First Travel sebelumnya. “Kebetulan teman berangkat tahun 2016 dan saudara berangkat tahun 2016 awal. Semua baik-baik saja,” kata Lintang kepada Radar Bogor.

Berbekal cerita rekan dan saudara itu, Lintang pun berniat memberangkatkan kedua orang tuanya ke Tanah Suci menggunakan jasa First Travel. Promo yang saat itu sangat diandalkannya adalah sistem pembayaran yang bisa dicicil sehingga tidak memberatkan.

“Ya sudah, akhirnya milih itu (First Travel) karena waktu itu memang masih bagus. Saya sudah nanya-nanya ke beberapa orang yang pernah umrah juga mengatakan tahu travel itu dan bagus. Biar harganya murah tetapi tidak murahan,” ungkapnya.

Di pertengahan 2016, Lintang akhirnya mendaftar untuk keberangkatan 2017. Ia juga merasa beruntung karena ternyata First Travel menawarkannya paket promo yang dirasa sangat membantu.

“Saya daftar buat dua orang, dicicil dulu. Promonya itu yang per orang Rp14,3 juta. Terus saya waktu itu baru nyicil Rp22 juta. Tadinya untuk orang tua untuk ayah dan ibu, tapi ternyata ayah saya tidak kepingin, sehingga saya yang menggantikan. Jadi, rencananya saya yang berangkat dengan ibu saya,” kata dia.

Menurut Lintang, saat dirinya mengatakan hanya memiliki uang Rp22 juta, pihak First Travel mengisyaratkan meminta uang tunai dan tidak mengindahkan opsi transfer. “Tapi, orang FT bilang kalau mahram itu bisa nyusul. Akhirnya, saya dikasih waktu seminggu untuk melakukan pelunasan,” imbuhnya.

Dari situ, Lintang merasa semakin banyak kejanggalan. Informasi yang digalinya dari pihak First Travel pun tak pernah terjawab tuntas. Agen perjalanan itu terus melempar tanggung jawab ke sana kemari. Hingga akhirnya, Lintang dan ibunya pun gagal berangkat.

“Kalau pribadi, nyesel pasti. Kalau saya gak bisa berangkat sekarang, kan bisa di lain waktu. Tapi orang tua saya, ini yang bikin saya sedih. Karena kan mereka udah semangat, tapi ternyata diundur terus-terusan, sampai akhirnya semangatnya juga menurun,” ungkapnya.

Atas masalah ini, Lintang mengalami kerugian Rp29,2 juta termasuk biaya mahram. Belum lagi dengan biaya pembuatan buku kuning, suntik meningitis, paspor, dan lain-lain.
“Uang itu hasil tabungan saya selama dua tahun. Pengennya uang bisa kembali, terus saya akan cari travel lain. Tapi sebe­narnya yang penting itu paspor dikem­balikan saja dulu. Jadi, kalau buat saya paspor balik dulu,” pintanya.(rp2/pkl6/ric)

[/ihc-hide-content]