25 radar bogor

Proyek Tol Rusak Rumah Warga

MENGGANGGU: Pembangunan proyek gerbang tol Bogor III berdampak kepada kenyamanan warga di kompleks Perumahan Danau Bogor Raya. Tercatat ada tujuh rumah warga yang retak-retak. Nelvi Radar Bogor
MENGGANGGU: Pembangunan proyek gerbang tol Bogor III berdampak kepada kenyamanan warga di kompleks Perumahan Danau Bogor Raya. Tercatat ada tujuh rumah warga yang retak-retak. Nelvi Radar Bogor

BOGOR–Pembangunan proyek gerbang tol Bogor III yang lokasinya di tengah jalan tol Jagorawi menyisakan masalah. Sedikitnya tujuh rumah warga di kompleks Danau Bogor Raya, Kecamatan Bogor Timur, temboknya retak akibat terdampak pengerjaan proyek.

Salah seorang warga Blok ABCD/B6, kompleks Danau Bogor Raya, Isniasih Ariyani mengungkapkan, lokasi proyek yang berjarak hanya beberapa meter dari permukiman warga menimbulkan getaran yang meretakkan dinding–dinding rumah warga.

“Warga tambah resah karena pihak Jasa Marga tidak membangun pembatas antara jalan tol dengan permukiman warga, sedangkan di sini juga banyak anak kecil. Berkali-kali warga bersurat kepada pihak Jasa Marga sebagai pelaksana pembangunan, tetapi tidak ada respons yang baik,” ungkap Isniasih saat diwawancarai Radar Bogor kemarin.

Seiring berjalannya waktu, lanjut Isniasih, pihak Jasa Marga akhirnya merespons keinginan warga setelah diadvokasi oleh lembaga bantuan hukum. Namun, pertemuan yang diagendakan pada 18 Agustus lalu itu tak kunjung membuahkan hasil memuaskan. “Pertemuan itu memang menghasilkan beberapa kesepakatan, tetapi tidak ada hitam di atas putih, hanya lewat lisan,” bebernya lagi.

Pihak Jasa Marga juga berjanji kepada warga akan memberikan notulensi hasil rapat tersebut. Namun lagi–lagi, hal itu hanya harapan kosong.
Sementara itu, Sekjen Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Sugeng Teguh Santoso yang mengadvokasi warga, menjelaskan bahwa banyak efek yang ditimbulkan dari pembangunan gerbang tol tersebut.

Salah satunya, pencemaraan udara mulai dari debu dan material pemba­ngunan lainnya. “Dan pada saat proses pembangunan selesai, pastinya pencemaran udara dari emisi gas mobil yang berlalu lalang di jalan tol akan berdampak kepada warga,” tegas Sugeng.

Maka dari itu, lanjut dia, berdasarkan ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1991 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, bahwa setiap orang atau penanggung jawab kegiatan yang mengaki­batkan terjadinya pencemaran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara, yang apabila tidak dilakukan, akan mendatangkan sanksi pidana bagi penanggung jawab pembangunan itu.

Menurut Sugeng, pemba­ngunan gerbang tol yang berdekatan dengan permukiman warga sudah sepatutnya terpikirkan oleh Jasa Marga akan dampak yang ditimbulkan, termasuk faktor kebisingan.

“Merujuk pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep 48/MENLH/ XI/1991 tentang Baku Tingkat Kebisingan, bahwa setiap penanggung jawab kegiatan wajib menaati baku tingkat kebisingan, memasang alat pencegah kebisingan dan melaporkan hasil pemantauan tingkat kebisingan,” urainya lagi.

Soal tak adanya pagar pembatas antara proyek dan permukiman warga, Sugeng mengacu pada Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan hidup Bidang Jalan Nomor 010/BM/2009. Hal itu untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas terhadap warga permukiman akibat pengoperasian jalan tol.

Untuk itu pula, pihak Sugeng serta tim hukum dan advokasi yang ia komandoi mengambil beberapa sikap. Di antaranya, mendesak Jasa Marga untuk segera membangun pagar pembatas atau penghalang suara. “Kami juga mendesak Wali Kota Bogor untuk memberikan perlindungan hukum untuk masyarakat,” tukas Sugeng.

Sampai saat ini pihak Jasa Marga belum bisa dikonfirmasi terkait protes warga tersebut. Telepon dan pesan pendek yang dikirimkan wartawan tidak digubris.(wil/c)