25 radar bogor

Pengamat: Ini Kebijakan Diskriminatif!

BOGOR–Pengamat tranportasi Djoko Setijowarno tak sependapat dengan rencana BPTJ melarang sepeda motor keliaran di ruas Pajajaran. Menurutnya, hal itu bukan solusi dan hanya akan memindahkan kemacetan ke jalur-jalur alternatif. Sebaiknya, menurut dia, Pemkot Bogor meniru sistem pengelolaan transportasi di Jawa Tengah.

“Di Jawa Tengah, pemerintah daerah berperan mengelola transportasi melalui Koperasi Organda.

[ihc-hide-content ihc_mb_type=”block” ihc_mb_who=”unreg” ihc_mb_template=”3″ ]

Kalau mau melarang motor, perlu solusi transportasi umum lain yang menunjang. Masalahnya, sudah ada transportasi pengganti belum di sana? Jika belum ada, kebijakan itu belum cocok. Jakarta, sudah ada penggantinya, meski belum sempurna,” ujarnya kepada Radar Bogor kemarin (13/8).

Djoko menyindir pengelolaan bus Transpakuan yang seharusnya bisa menjadi solusi. Kembali mencontohkan kondisi di Jawa Tengah, akademisi dari Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang ini, menyarankan agar Pemkot Bogor memberi subsidi operasional kepada Transpakuan.

“Seperti di Jawa Tengah, BRT menggunakan bus berkapasitas 42 penumpang. Untuk satu unit busnya dianggarkan Rp750 juta. Dana sendiri berasal dari pinjaman BPD Jateng. Tingkat isian 83 persen sehari mengangkut 3.400-3.800 penumpang dengan waktu tempuh 90 menit. Operatornya pengusaha angkutan umum di jalur yang sama,” imbuhnya.

Di bagian lain, rencana BPTJ itu terus menuai penolakan. Sosiolog dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menganggap wacana pelarangan motor di Pajajaran diskriminatif terhadap pengguna jalan.

“Pertama, Jalan Pajajaran tidak terlalu luas. Kalau itu hanya untuk kendaraan roda empat, itu diskriminatif terhadap kelas tertentu,” ujarnya kepada Radar Bogor kemarin.

Arif menyebut, pembatasan itu akan relevan jika ruas Jalan Pajajaran selebar ukuran Jalan Tol. Maka, wajar jika tidak boleh dilintasi kendaraan roda dua dengan alasan keselamatan. “Contoh, ketika motor masuk jalan tol kan membahayakan sekali, butuh kecepatan tinggi. Itu boleh (pelarangan motor), tidak apa-apa,” sebutnya.

Selain itu, Arif khawatir rencana tersebut hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat. Mengingat pengguna motor mayoritas kalangan menengah ke bawah.

Sementara jika alasan program tersebut untuk meningkatkan perputaran ekonomi dari transportasi umum di Kota Bogor, Arif menilai belum cukup konkret. Pasalnya, angkutan umum di Kota Bogor masih semrawut. Sehingga sulit untuk diandalkan jika motor sudah dilarang lintasi Pajajaran.

“Memang sekarang kan kita belum lihat wajah transportasi umumnya seperti apa. Kalau memang transportasi umumnya sangat memadai dan bagus sekali, mungkin bisa kita pertimbangkan. Tapi kalau dengan asumsi fasilitasnya belum terintegrasi dan orang juga masih butuh kecepatan karena menghindari macet, Pajajaran pun macetnya belum terlalu parah,” paparnya.

Arif menyarankan cara lain yang lebih efektif, yakni mem­perketat izin pembelian ken­daraan roda dua. “Izin penjualan motor diberikan kuota per bulan­nya. Jangan jalannya didiskri­minasi,” cetusnya.(don/rp1/c)

[/ihc-hide-content]