25 radar bogor

Mengunjungi Todo, Bekas Ibu Kota Kerajaan Manggarai (1)

BERSEJARAH: Titus Jegadut di samping rumat adat Mbaru Niang yang berdiri di Desa Todo. Dulu di sinilah terletak pusat pemerintahan Manggarai.TAURIQURRAHMAN/JAWA POS
BERSEJARAH: Titus Jegadut di samping rumat adat Mbaru Niang yang berdiri di Desa Todo. Dulu di sinilah terletak pusat pemerintahan Manggarai.TAURIQURRAHMAN/JAWA POS

Gadis cantik itu bernama Wela Lowe. Artinya, bunga yang tengah mekar. Kulitnya putih bening. Jika terpapar cahaya bulan, pantulannya berpilin tinggi ke langit. Sampai-sampai terlihat dari seberang lautan. Berkat pengorbanannya, perseteruan tiga raja reda, masa penjajahan berakhir, dan masyarakat Manggarai bersatu di bawah bendera tunggal, Todo.

TODO lebih jarang dikunjungi. Mungkin karena sudah tidak alami lagi. Bicara soal desa adat, para turis biasanya lebih suka menuju Wae Rebo, Verbo, ataupun desa-desa Megalitikum di Bena, Bajawa, Kabupaten Manggarai Timur. Kehidupan masyarakat di desa-desa tersebut masih alami. Rumah adatnya (niang) masih tegak berdiri, ornamennya masih utuh, lesung masih berbunyi setiap pagi, para perempuan pun masih setia menenun kain.

Sementara Todo sudah berubah menjadi sebuah perkampungan modern. Bentuk rumah penduduk tidak jauh berbeda dengan di Pulau Jawa, misalnya. Ditambah dengan penetapan Todo sebagai situs wisata, jalan mulai dipaving, pondok-pondok bambu didirikan, serta penginapan dibangun untuk memanjakan para pengunjung.

Todo terletak di Kecamatan Satar Mese Utara, sekitar 40 km dari kota Kecamatan Ruteng di Kabupaten Manggarai, NTT. Untuk mencapai desa ini, perlu ditempuh lima jam perjalanan darat dari kota pelabuhan Labuan Bajo di sisi barat Pulau Flores. Menyusuri kelok-kelok jalan trans-Flores. Bergunung dan berjurang, di beberapa bagian, kondisi jalan rusak. Tapi, dari seluruh desa adat wisata, Todo menyimpan sejarah besar.

Dari tempat itulah Manggarai lahir. Siapa pun tahu bahwa semua blueprint masyarakat Manggarai tersimpan rapat dalam persemayaman bisu formasi Sembilan Niang Todo. Lama tidak dirawat, sembilan niang itu nyaris ambruk. Empat niang terbesar masih sempat diselamatkan dan masih berdiri hingga kini. Lima sisanya dalam proses rekonstruksi.

Fungsi niang kini menjadi semacam monumen, bukan lagi tempat tinggal. Masyarakat Manggarai sudah terbentuk setidaknya sejak abad ke-15 saat Portugis datang ke Nusantara.

Namun, baru resmi bersatu menjadi sebuah kerajaan pada masa raja ketiga, Jama. Akar sejarahnya agak tercecer dengan berbagai versi. Garis waktu suksesi kerajaan baru terekam pada masa raja kelima, Tamur, yang naik takhta pada 1914. Sebelum era Jama, wilayah Flores masih berupa tanah jajahan dua kerajaan besar. Koloni Kerajaan Bima di barat serta Koloni Kesultanan Gowa di timur.

Di timur Flores sendiri berdiri beberapa kerajaan kecil yang terus-menerus terlibat peperangan. Todo-Pongkor merupakan satu dari kerajaan kecil yang dipimpin seorang adak. Seteru utama mereka adalah Adak Cibal. Meskipun pernah diserang dan semua niang-nya dibakar, Todo terbukti mampu bertahan dan menjadi klan dominan. Namun, mereka benar-benar bersatu berkat pengorbanan Putri Nggerang.

’’Maka dari itulah, Loke Nggerang dianggap sebagai simbol pemersatu seluruh Manggarai,’’ ujar Agustinus Bandung, ketua pemangku adat yang juga keturunan ke-10 raja Todo, di ruang tamunya saat koran ini berkunjung Juli lalu. Agus bercerita bahwa tiga raja sangat ingin mendapatkan hati Putri Nggerang.
*****
Wela Lowe dimitoskan sebagai seorang keturunan bidadari. Ada beragam versi tentang asal usulnya. Satu sebab karena sang putri begitu cantik dengan kulitnya yang bening (nggerang). Raja Bima, Mori Dima, diceritakan terkesima dengan cahaya yang memancar dari ujung timur Pulau Flores.

Cahaya yang disebut-sebut sebagai cahaya bulan yang dipantulkan dari kulitnya. Versi lain menceritakan bahwa di desanya, Ndoso, Putri Nggerang kerap muncul dan hilang di balik hutan. Kemampuan gaib semacam ini diperoleh dari perkawinan sang ibu, Hendang, dengan makhluk halus (darat).

Versi Agus sebagai ketua dewan pemangku adat Todo, ibunda Wela Lowe menikah dengan seorang India. Sang suami pergi meninggalkan Hendang saat sedang hamil. Pesan suaminya, jika anak yang baru lahir adalah laki-laki, dia wajib dibesarkan. Namun, jika yang lahir perempuan, wajib dibunuh. Khawatir akan pesan suaminya, Hendang kabur ke Flores dengan menguntit seorang petugas pajak yang baru saja selesai menyetorkan pajak ke Kerajaan Bima.

Wela Lowe tumbuh dalam perawatan ibundanya. Warta tentang kecantikannya segera menyebar ke penjuru Flores. Baik Mori Dima, Adak Todo, Jama, serta raja Gowa, masing-masing mengirim utusannya untuk melamar Putri Nggerang.

Tiga-tiganya ditolak. Sangat populer cerita rakyat yang menuturkan bahwa Mori Dima mengirim kutukan yang membuat mendung gelap bergulung-gulung menyelimuti langit Manggarai. Saking marahnya. Karena sama-sama ditolak, kata Agus, ketiganya pun memutuskan untuk ’’meminang’’ sang putri dengan cara kekerasan.

’’Siapa pun yang berhasil mendapatkan Putri Nggerang, bagian mana pun, berhak menguasai Manggarai,’’ tuturnya. Kalimat ’’bagian mana pun’’ ini dipahami betul oleh Jama sebagai sebuah kesempatan. Berperang dengan dua raja besar berarti cari mampus. Jama kemudian mengirimkan salah seorang utusannya (dalam beberapa keterangan, utusan itu adalah seorang komengkaba atau camat) untuk membunuh Wela Lowe.

Perjanjian adalah perjanjian, raja Bima maupun raja Gowa mengakui bahwa Jama telah berhasil ’’mendapatkan’’ Wela Lowe. Sang putri dimakamkan di Ndoso, tempat tinggalnya. Sementara kulit perutnya dikelupas dan dibawa ke Todo.

Dari kulit tersebut, Jama membuat sebuah gendang sebagai pendamping sebuah gong kerajaan yang dibuat dari kuningan dan memiliki permukaan yang rata (Gong Buka).

Peperangan antar-adak mulai mereda dan Todo tampil sebagai pusat kekuasaan dengan Gong Buka dan Loke Nggerang sebagai simbolnya. Teritori Kerajaan Manggarai terbentang luas mulai Selat Sape di barat hingga Wai Mokel (Sungai Mokel) di timur. (Tauriqurrahman/c19/dos)