25 radar bogor

Fikri Rio Yonda, Calon Polisi Pertama dari Suku Anak Dalam

SAD MASUK POLISI: Fikri Rio Yoanda (19) menangis di pelukan ayahnya, Sukri, usai acara Pendidikan Pembentukan Bintara Polri Tugas Umum TA 2017 di Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Jambi. FOTO: M RIDWAN-JAMBI EKSPRES
SAD MASUK POLISI: Fikri Rio Yoanda (19) menangis di pelukan ayahnya, Sukri, usai acara Pendidikan Pembentukan Bintara Polri Tugas Umum TA 2017 di Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Jambi. FOTO: M RIDWAN-JAMBI EKSPRES

Inspirasi Fikri Rio Yonda jadi anggota Korps Bhayangkara adalah polisi yang biasa berpatroli bersama kelompoknya. Kapolda Jambi memastikan dia diterima karena prestasi, bukan latar belakang sukunya.

DONI SAPUTRA, Muarojambi

DI depan mimbar itu, keharuan tak terelakkan. Pria berbaju putih dengan sepatu yang terlihat lusuh memeluk erat anak muda berkepala plontos. Keduanya menangis.

’’Kami ini dari Suku Anak Dalam (SAD). Dengan ada di sini, kami ingin menunjukkan kalau kami bisa bersaing dengan yang lain,’’ kata Fikri Rio Yonda, si anak muda, setelah tangisnya mereda, kepada Jambi Ekspres (Grup Radar Bogor).

Rabu siang lalu itu (9/8) adalah hari istimewa bagi pemuda 19 tahun tersebut. Pada hari yang diguyur gerimis itu, dia mengikuti upacara pembukaan Pendidikan Pembentukan Bintara Polri Tugas Umum di Sekolah Polisi Negara (SPN) Muarojambi.

Fikri pun jadi orang SAD pertama yang bakal dididik menjadi anggota Korps Bhayangkara. Sebelumnya, seorang warga SAD lain, M. Firman Hariyanto, juga diterima menjadi anggota TNI Angkatan Darat. Firman menyelesaikan pendidikan pada 2015 dan kini bertugas di Kodam II/Sriwijaya sebagai prajurit II.

Menjadi lebih istimewa karena sang ayah, Sukri, hadir dalam upacara yang dihadiri Kapolda Jambi Brigjen Pol Priyo Widyanto itu. ’’Mudah-mudahan kelak dia jadi polisi yang profesional dan bermoral,” kata Sukri, warga SAD dari kelompok Tumenggung Sembilan Bilah Herman Basir itu.

SAD atau Orang Rimba merupakan suku yang menghuni kawasan Taman Nasional Bukit 12 dan Taman Nasional Bukit 30 di Bungo, Tebo, Sarolangun, dan Batanghari. Populasi mereka diperkirakan mencapai 200 ribu orang.

Mengutip indonesia.go.id, mayoritas di antara mereka masih hidup secara nomaden. Menghidupi diri dengan berburu binatang dan mencari buah-buahan di hutan.

Di dalam hutan, Orang Rimba hidup terbagi dalam beberapa kelompok kecil. Setiap kelompok memiliki wilayah hunian dan wilayah buruan sendiri-sendiri. Pemimpin kelompok Orang Rimba disebut tumenggung.

Latar belakang itulah yang justru melecut semangat Fikri. Dia ingin menepis pandangan negatif banyak pihak tentang SAD yang juga biasa disebut Suku Kubu itu. ’’Saya ingin membanggakan orang tua dan orang-orang suku saya,’’ kata pemuda kelahiran Jambi, 28 September 1997, tersebut.

Mimpi itu pun dia pupuk sejak kecil. Inspirasi putra pasangan Sukri dan Erawati tersebut menjadi polisi adalah anggota Bhabinkamtibas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) yang sering melakukan patroli dan sosialisasi dengan warga SAD kelompoknya.

Sekitar lima bulan sejak mendaftar pada Maret 2017 hingga pengumuman kelulusan pada 5 Agustus 2017, Fikri harus melewati perjuangan tak ringan. Untuk mengurus berkas pendaftaran, misalnya, dia harus menempuh perjalanan sejauh 134,2 km.

Dari kampung halamannya di RT 10, Desa Tanjung Lebar, Kecamatan Bahar Selatan. Menuju Mapolres Muarojambi yang berlokasi di Kecamatan Sengeti.
’’Pergi pakai motor, tapi bolak-balik. Waktu tes juga seperti itu. Setiap tes minimal perjalanan 4 jam,’’ katanya. Pada saat yang sama, Fikri tak lupa mempersiapkan ’’amunisi’’. Latihan fisik dengan rutin maraton di sekitar lingkungannya.

Juga, meningkatkan kemampuan akademik dan psikologi. Dia belajar banyak dari kegagalan pada 2016 yang tersandung saat pantukir (pemantauan terakhir).
’’Tahun 2016, tamat SMA juga tes, tapi dak lulus. Tahun ini tes lagi, alhamdulillah lulus,’’ ujar alumnus SMA Negeri 4 Muarojambi tersebut.

Sejak memasuki bangku sekolah dasar (SD), Fikri memang tak lagi melangun alias berpindah-pindah bersama kelompoknya. Orang tuanya memilih menitipkannya ke keluarga yang sudah tinggal menetap agar bisa mendapat pendidikan memadai.

Saat SD, Fikri tinggal bersama sang nenek di Tebing Tinggi. Ketika masuk SMP Negeri 3 Batanghari, giliran dia ikut bibi.
’’Mau masuk SMA, baru kumpul lagi dengan orang tua,’’ beber anak pertama di antara dua bersaudara tersebut sembari menyebutkan bahwa kala itu orang tuanya sudah menetap di Desa Tanjung Lebar.

Sukri mengaku tak melarang ketika sang anak berkeinginan mendaftar jadi polisi. Meski, di dalam hatinya, pria 45 tahun tersebut juga khawatir.(*/JPG/c5/ttg)