25 radar bogor

Merasakan Sensasi Berlatih Lari di Ketinggian 2.400 Meter di Kenya (2-Habis)

SERU: Peserta kamp berpapasan dengan sapi saat menyusuri perkampungan di Iten, Kenya.FOTO: ENOCH KIROP FOR JAWA POS
SERU: Peserta kamp berpapasan dengan sapi saat menyusuri perkampungan di Iten, Kenya.FOTO: ENOCH KIROP FOR JAWA POS

Latihan yang sebenarnya dimulai di hari kedua. Trek yang dilalui bukan lagi jalan aspal, melainkan tanah liat. Jaraknya pun ditambah tiap hari. Medannya juga semakin menantang. Wartawan Jawa Pos (Grup Radar Bogor) Tomy C. Gutomo yang tengah mengikuti kamp melaporkan dari Iten, Kenya.

HARI kedua (26/7) dimulai pukul 06.10 tepat. Willy Songok, manajer High Altitude Training Centre (HATC), kamp tempat saya berlatih lari di Iten, memberikan arahan bahwa kami akan berlari bersama pacers selama 60 menit.

Kali ini melewati perkampungan di Iten, kota yang telah melahirkan begitu banyak jagoan lari jarak jauh dunia. Sebelumnya kami semua disarankan memakai sepatu trail run karena trek lari yang kami lewati adalah tanah liat. Apalagi, malamnya hujan. Kalau mengenakan sepatu lari biasa akan licin.

Sambil melawan dingin yang mencapai 12 derajat Celsius, kami mulai menyusuri jalanan perkam­pungan di Iten. Pagi itu pelari-pelari Kenya sudah berseli­weran. Baik di jalan raya maupun di jalan perkampungan.

Rute di Iten, kota yang terletak 2.400 meter di atas permukaan laut, yang dipilih pagi itu sebenarnya masih lumayan. Tanjakannya tidak ekstrem dan beberapa masih flat. Tapi, yang bikin berat sebenarnya beban di sepatu. Tanah liat yang menempel di sepatu begitu tebal.

Saya dan para peserta kamp sibuk beberapa kali harus berhenti untuk menggesekkan sepatu ke batu. ”Rasanya sepatu saya tambah 1 kilogram,” kata Wong Ka Ming, peserta kamp dari Hongkong.

Herannya, saya tidak melihat para pelari lokal Kenya terganggu dengan lumpur di sepatunya. Mereka terus saja berlari seakan tidak ada beban. ”Mereka sudah biasa. Justru itu untuk melatih kekuatan kaki,” ujar Songok.

Risikonya, usia sepatu mereka jadi tidak panjang. Para pelari di Kenya bisa mengganti sepatu empat bulan sekali. Seusai latihan, kami sarapan sereal, telur rebus, dan roti tawar. Serta minum susu dan teh. Itu menu sarapan wajib kami.

Siangnya kami makan sup, pasta, kacang hijau, serta salad kol dan wortel. Makan malam justru yang agak berat: ugali, makanan utama di Kenya yang terbuat dari tepung jagung yang dijadikan bubur padat. Lauknya daging sapi atau ayam. Plus buah semangka, sunkis, atau nanas. Kadang-kadang tersedia nasi. Dalam seminggu pertama hanya sekali bertemu nasi.

”Makan malam memang lebih berat karena kita besok pagi harus berlatih. Ini penting untuk energi,” tutur Songok menjawab pertanyaan para peserta mengenai menu makan malam yang lebih berat daripada pagi dan siang.

Selama kamp, kami disarankan tidak makan makanan selain yang disediakan HATC. Itu bertujuan agar peserta tidak sakit. Namun, makan buah masih diizinkan. Tidak ada sanksi sih kalau melanggar. Saya juga pernah curi-curi makan di restoran karena merindukan nasi.

Hari itu ada tiga sesi latihan dan seminar. Pukul 10.30 kami kembali dikumpulkan di ruang fitness untuk latihan core stability. Head coach Timo Limo yang memimpin. Selama 45 menit kami dilatih menguatkan otot perut, paha, dan kaki.

Variasi plank yang diajarkan Timo benar-benar membuat perut saya hampir kram. ”Setelah ini silakan latihan beban sendiri-sendiri untuk menguatkan lengan,” kata Timo mengakhiri sesi latihan core stability.

Setelah makan siang dan istirahat, kami kembali berlatih ringan di sore hari, pukul 15.30. Seperti biasa, pilihannya berlari, berenang, atau bersepeda. Sore itu saya memilih berenang saja. Waktunya tidak lama karena pukul 16.30 kami harus berkumpul di lounge untuk berdiskusi dengan konsultan sekaligus pelatih tamu kami Hugo van den Broek.

Hugo saat ini adalah pelatih kepala di tim atletik India. Dia fokus melatih para pelari nasional India untuk jarak jauh. Sebelumnya dia juga melatih pelari-pelari elite Kenya. Dia juga mantan atlet maraton dengan personal best 2 jam 12 menit.

Selama kamp, ada beberapa sesi diskusi dengan Hugo. Dia mencatat target kami masing-masing dan meng-interview seluruh peserta kamp. Kemudian, di sesi berikutnya dia akan mengevaluasi kami satu per satu. ”Inti dari latihan adalah fokus. Lihat pelari Kenya, mereka tidak peduli dengan apparel atau gear,” kata Hugo.

Hujan yang turun di hari ketiga (27/7) adalah ”penyelamat” kami. Artinya, kami tidak harus lari pagi-pagi banget. Baru pukul 09.00 hujan reda. Jadwal kami adalah progressive run melewati rute lain di perkampungan juga. Naik turun juga treknya.

Tanah liat juga. Dan sepatu kami kembali nggedibal alias penuh lumpur. Progressive run kali ini terdiri atas 45 menit run, 25 menit easy run, 20 menit moderate, dan terakhir 5 menit pushing.

Di setiap latihan kami didampingi empat pacer. Salah satu tujuannya agar tidak tersesat. Saya termasuk yang diistimewakan. Selalu dibarengi seorang pacer khusus. Sebab, saya selalu berlari paling belakang.

Maklum, jam terbang lari saya memang tidak sebanyak peserta kamp yang lain. ”Tidak usah terlalu dipaksakan. Saya akan temani sampai selesai,” tutur Jeffrey Manjich, pacer yang mendampingi saya.

Siang itu kami dibebaskan dari latihan. Baru sorenya kami berlatih lagi di Lornah Kiplagat Sports Academy. Itu adalah lintasan lari berstandar internasional yang pembangu­nannya dibiayai penyelenggara London Marathon.

Lornah mendapat hadiah tersebut karena merupakan pemegang rekor half-marathon di salah satu dari enam world marathon majors itu. Trek tartan sepanjang 400 meter tersebut mulai berdiri pada 2014. Pelari selain penghuni kamp HATC harus menyewa KSH 500 atau Rp65 ribu per hari per orang. (*/c9/ttg)