25 radar bogor

Batasi Promosi Rokok di Ritel Tradisional

DIALOG: Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menggelar seminar bertajuk ”Kerjasama Ritel Tradisional, Cara Industri Tembakau Mengukuhkan Cengkeraman” di aula Himalaya Salak Tower Hotel, kemarin (24/7).

BOGOR – Gencar menegakkan Perda Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), nyatanya, Kota Bogor masih kecolongan soal penjualan rokok. Meski tak lagi mendapat tempat untuk iklan reklame rokok, untuk melancarkan strategi penjualan, perusahaan rokok menyasar para pengusaha ritel.

Salah satu strategi yang marak adalah program pemberian sponsor dan insentif bagi usaha ritel tradisional. Berdasarkan analisis Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), 98 persen kerja sama industri rokok dengan ritel berawal dari permintaan sales rokok itu sendiri, dan sisanya 2 persen adalah permintaan mandiri dari ritel tradisional tersebut.

Hal ini terungkap dalam seminar bertajuk Kerjasama Ritel Tradisional, Cara Industri Tembakau Mengukuhkan Cengkeraman di aula Himalaya Salak Tower Hotel, kemarin (24/7). “Jadi, industri rokok melakukan kerja sama ritel tradisional lewat program insentif, yaitu pemberiaan uang tunai kepada pemilik ritel yang akan bekerja sama dan mendanai untuk mengubah toko menjadi lebih modern. Padahal, ini dijadikan sebagai penanda bahwa ritel tradisional tersebut telah bergabung dalam kerja sama dengan industri rokok,” ungkap Ketua Dewan Pakar IAKMI, Adang Bachtiar kepada Radar Bogor.

Berdasarkan studi kasus yang mereka lakukan di empat kota perbatasan DKI, yakni Bogor, Depok, Tangerang Selatan, dan Bekasi, ditemukan kerja sama industri produk tembakau dengan ritel tradisional lewat insentif paling banyak berada di Tangerang Selatan dengan persentase 41,1 persen, dan paling sedikit ada di Kota Bogor.

“Walaupun termasuk dalam paling sedikit, tapi perlu diwaspadai karena ritel mitra 37 persen berlokasi kurang dari 100 meter dari sekolahan dan dampaknya cukup sangat besar,” kata dia.

Dikatakannya, dalam kerja sama ritel ini juga menyebutkan tidak ada target penjualan yang membebani dan diperbolehkannya penjualan secara ecer tanpa menyebabkan kerugian. Hal ini menyebabkan masyarakat menengah ke bawah yang mempunyai daya ingin untuk bekerja sama demi keuntungan yang berlebih.
Padahal, kenyataannya, ini justru sangat merusak generasi dengan bebasnya penjualan rokok yang dapat dibeli pada toko ritel tradisional yang umumnya tidak mempunyai izin dagang.

“Sebanyak 81,3 persen pengusaha ritel yang melakukan perjanjian kerja tertulis, mengaku hanya tanda tangan setelah menerima uang tunai tanpa membaca isi kontrak dan dokumen perjanjian dipegang oleh salesman. Tipuan ini disebabkan adanya pembatasan tentang iklan dan bentuk promosi tembakau yang masih dipandang sebagai penyebab konsumsi rokok masih tinggi di daerah-daerah lainnya,” bebernya.

Sementara itu, Wali Kota Bogor Bima Arya mengungkapkan, saat ini asap rokok banyak dirasakan oleh kalangan muda, dan khususnya masyarakat kalangan menengah. Karenanya, pemkot terus berupaya untuk mengantisipasi produsen tembakau agar tidak melakukan promosi secara mudah.

“Adanya revisi tentang perda mengenai rokok, KTR saat ini ada delapan butir, dan akan dikembangkan atau direvisi lebih ketat dalam mengatur hal-hal menyangkut tembakau atau rokok itu sendiri,” bebernya. (wil/pkl9/c)