25 radar bogor

Butuh Pengawas Transaksi Virtual

MARAKNYA tipu-tipu modus toko daring, ibarat parasit yang muncul di suburnya startup dunia maya.

Sosiolog dari Universitas Nasional, Nia Elvina berpendapat, secara sosiologis, fenomena tersebut milik masyarakat virtual. Dalam hubungan seperti ini, sebenarnya nilai yang dibangun adalah kepercayaan.

“Jika misalnya kepercayaan ini hilang, maka hubungan antara pembeli dan penjual secara online ini tidak akan berlanjut. Misalnya, kasus barang yang di-display tidak sesuai dengan aslinya,” ujarnya kepada Radar Bogor.

Untuk kasus penipuan secara daring, Nia melihatnya sebagai celah yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang memiliki niat kriminal. Ada perilaku individu yang bertindak tidak sesuai dengan kaidah dalam nilai hubungan tadi yakni kepercayaan.

“Mereka merusak kepercayaan para pembeli. Makanya, jual beli online biasanya meminimalkan kejadian seperti ini, dengan memunculkan review pembeli. Perkembangan teknologi itu harusnya positif, misalnya, dengan adanya jual-beli online, harga barang menjadi lebih murah,” tukasnya.

Psikolog Rumah Cinta Bogor, Retno Lelyani Dewi mengatakan, di era teknologi canggih seperti sekarang ini, awalnya masyarakat merasa menikmati. Namun, rasa menikmati itu justru awal dari ketergantungan seseorang pada teknologi. Orang merasa lebih senang online shopping karena merasa bisa efektif dengan waktu.

“Merasa tidak perlu berlama- lama memilih barang dengan berpindah dari satu toko ke toko lain. Tidak perlu berlama-lama terjebak macet,” kata dia.

Fenomena ini juga menunjukkan, masyarakat mulai mengalami perubahan cara berpikir menjadi instan, ingin serba cepat. Dampak buruknya, banyak orang kurang menghargai segala sesuatu yang membutuhkan waktu lebih lama.

“Biasanya langsung ’dihakimi’ dengan sebutan ’lambat’. Di sisi lain, saat sudah biasa tergantung dengan segala bentuk online, maka saat tidak bisa online, orang jadi stres, senewen. Artinya, daya tahan stres kita menjadi lebih rendah. Kreativitas kita jadi mandek. Seakan dunia berhenti karena tidak ada internet,” tukasnya.

Retno menambahkan, bukan berarti berbelanja secara daring menjadi hal buruk. Namun, masyarakat harus memiliki keseimbangan, semisal menikmati berbelanja di luar dunia maya. “Itu bisa mendapat banyak hal. Hiburan, pemandangan baru, bahkan mungkin hikmah saat kita melihat anak muda membantu nenek-nenek membawa belanjaan,” imbuhnya.

Ekonom Universitas Indonesia (UI), Chaikal Nuryakin mengata- kan, bisnis online erat kaitannya dengan harga murah. Namun, kepercayaan yang paling penting. Jadi, harga dan kepercayaan. Nah biasanya, calon pembeli akan mencobanya terlebih da hulu dari harga yang paling murah.

“Sekarang kan sudah banyak platform yang tepercaya, seharusnya beli dari harga yang murah-murah dulu. Tapi, saya kurang begitu paham soal tipu- tipu itu, karena permasalahan terjadi sekali dua kali tergantung loyalty mereka. Kalau dua kali hingga tiga kali masih kena tipu, tapi dianggap tidak apa-apa, maka akan terus lanjut,” jelas Chaikal.

Kemudian, kata dia, tergantung dari masyarakat itu sendiri. Harusnya, jika memang platform penyedia bertanggung jawab kalau ada penipuan, syarat dan ketentuan haruslah dilihat. Siapa yang nanti bertanggung jawab, penjual atau platformnya.

“Prospek toko online sebenarnya ke depan kan segalanya sudah mobile. Jadi kalau sudah mobile, generasi milenial, ada Apps dan sebagainya, sudah membuat semuanya begitu mudah. Ke depan, kemungkinan kita akan stay di rumah, yang seperti belanja atau bahkan menikmati kopi bisa di rumah enggak usah ke kafe, akan berkembang dan tidak hanya belanja,” bebernya.
Chaikal mengatakan, terkait dampak terhadap toko konvensional, sebenarnya harus ada sinergi. Di sisi lain, banyak platform yang bekerja sama dan menggandeng para UKM. Terlebih dengan bersinergi, para pemilik UKM tidak perlu memiliki toko dan akan meminimalisasi pengeluaran.
“Harusnya efisiensi biayanya lebih murah. Jarang belanja offline nantinya, mungkin lama-lama gedung pertokoan akan berubah menjadi apartemen atau tempat hiburan,” jelasnya.

Chaikal juga mengatakan, kenapa toko daring banyak diminati, sebab, lebih ke efisiensi dan harga. Karena orang Indonesia masih mengutamakan harga jika ingin membeli kebutuhannya. Antar online shop pun tetap bersaing.

“Fenomena belanja online ini akan terus menggeliat, karena orang Indonesia kan 85 persen mobile. Lima tahun lagi pasti akan meningkat, kemudian pakai Aps juga. Jadi, ke depan harus siap-siap dengan perkembangan digital dan offline akan ditinggalkan,” katanya.

Soal masih banyaknya masyarakat yang kena tipu-tipu daring, sambung Chaikal, Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) wajib turun tangan. Calon pembeli juga harus mengantisipasi syarat dan ketentuan yang berlaku, siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi aksi tipu-tipu daring.

“Saya yakin sebisa mungkin plafrom yang sudah terpercaya akan mempertahankan reputasinya. Nah kadang-kadang masyarakat kita suka malas, ngasih bintang aja males apalagi mengeluh. Dan keluhan itu penting, harus kritis memang, jangan ketika dibohongin diam dan sama saja membiarkan orang lain jadi korban,” katanya.

Sementara itu, Kriminolog UI, Bambang Widodo Umar mengatakan, masalahnya tidak semua pembuat website untuk jual beli daring itu baik atau bonafide. Padahal, mereka mengoordinasi vendor-vendor, mulai dari toko-toko, perusahaan penjual barang, tetapi vendor yang dikoordinasi tidak dicek sejauh mana bonafidenya.

“Di sinilah kalau ada website lepas tangan atau vendor tidak memenuhi kewajibannya, maka pembeli akan sulit melakukan klaim,” cetusnya.

Selain itu, sambung Bambang, perlu dikaji apakah sudah ada lambang pemerintah, misalnya, departemen perdagangan yang punya kewajiban mengontrol pada pembuat website atau vendor atau transaksi online.

“Juga perlu ada aturan yang mewajibkan para pembuat website harus mendaftarkan usahanya ke pemerintah agar ada yang ngontrol,” paparnya.

Bambang menambahkan, modus yang banyak ditemukan pada dasarnya sama saja, sulit mengetahui bahwa tawaran itu sebagai penipuan. “Tip meng- hindari hal itu dengan cara cek langsung ke vendor atau penjualnya,” tandasnya. (wil/c)