25 radar bogor

Mengenal Mbah Ponco Sutiyem, Nenek 95 Tahun Nomine Aktris Terbaik AIFFA 2017 Akting Alami dan Improvisasi Jadi Kunci Raih Prestasi

NATURAL: Mbah Ponco Sutiyem sedang memilah kacang tanah hasil kebun saat ditemui di rumahnya di Gunungkidul pekan lalu.

SEORANG nenek renta tampak sedang berada di dalam bus yang melaju. Rambut putihnya berderai tertiup angin yang berembus dari kaca terbuka di sam- pingnya. Tatapan matanya kosong. Bibirnya terkatup rapat. Keriput- keriput di wajahnya menyiratkan pesan kuat betapa beratnya kecamuk beban di pikirannya.

Perlahan, narasi suara nenek itu terdengar. ”Kula madosi pa- sareane Pak Pawiro Sahid. Piyam- bakipun pamit maju perang, ning mboten wangsul (Saya men cari makam Pak Pawiro Sahid. Dia pamit berangkat perang, tapi tidak pernah pulang, Red).”

Adegan tersebut muncul dalam trailer film Ziarah yang renca nanya tayang di bioskop 18 Mei nanti. Nenek renta dalam film itu adalah Mbah Ponco Sutiyem, perempuan 95 tahun asal Ngawen, Gunungkidul, Jogjakarta.

Di film tersebut Mbah Ponco memerankan tokoh Mbah Sri, seorang nenek berusia 95 tahun yang bertekad mencari makam suaminya, Pawiro Sahid, yang meninggal saat perang melawan penjajah. Mbah Sri ingin, saat dirinya meninggal nanti, bisa dimakamkan berdampingan dengan makam suaminya.

Akting Mbah Ponco di film besutan produser dan sutradara BW Purba itu memang begitu natural. Nenek yang hingga kini masih hidup bersama suaminya, Ponco Sentono, berusia 100 tahun, tersebut seolah berperan sebagai diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

Akting yang begitu kuat dan penuh penghayatan membuat Mbah Ponco layaknya aktris yang sudah puluhan tahun berakting di depan kamera. Karena itu, apresiasi pun berdatangan. Tak tanggung- tanggung, Mbah Ponco masuk nominasi sebagai aktris terbaik (Best Actress) di ajang ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017.

Di kategori bergengsi itu, Mbah Ponco bersaing dengan sederet aktris papan atas di Asia Tenggara (ASEAN) seperti Ngoc Thanh Tam (The Way Station/Vietnam), Subenja Pongkorn (Bangkok Nites/Laos), Ai Ai delas Alas (Area/Filipina), serta Cut Mini (Athirah/Indonesia).

Dalam ajang bergengsi yang dihelat di Hotel Pullman Sarawak, Malaysia, Sabtu malam lalu (6/5) itu, penghargaan sebagai Best Actress akhirnya disabet artis papan atas Filipina Ai Ai delas Alas. Meski begitu, masuknya nama Mbah Ponco dalam jajaran nomine sudah memantik decak kagum. Tidak hanya bagi insan perfilman Indonesia, tapi juga Asia Tenggara.

Namun, film Ziarah tak pulang dengan tangan hampa. Dua penghargaan Best Screenplay dan Special Jury Award berhasil diraih. Nah, khusus penghargaan Special Jury Award rupanya merupakan bentuk apresiasi para juri atas akting dan kiprah Mbah Ponco yang dinilai mem- berikan warna baru dalam dunia perfilman Asia Tenggara.

Akting kuat Mbah Ponco rupanya muncul dari karakter mentalnya yang kuat. Berasal dari pelosok desa, tak bisa membaca, dan tak pernah berakting di depan kamera tak membuatnya inferior. Itu tergambar saat wartawan Radar Jogja (Jawa Pos Group) menyambangi rumahnya di Dukuh Batusari, Desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul.

Ketika ditanya bagaimana perasaannya saat awal diminta menjadi pemeran utama dalam film Ziarah, lalu masuk nominasi dan bersaing dengan aktris-aktris papan atas Asia Tenggara, Mbah Ponco menjawab mantap. ”Kula mboten wedi kalih wong-wong gedhe. Ngasi ponakan kula sik ten Jakarta takon, kok wani. Kula niku nggih wani, kula mboten saged moco (Saya tidak takut dengan orang-orang besar. Sampai keponakan saya yang di Jakarta tanya, kok berani. Saya berani (meski) saya tidak bisa membaca.” Demikian kata Mbah Ponco, lantas tersenyum.

Mbah Ponco lalu teringat saat diminta beradu akting dengan sang menantu nomor tiga, Supriyanto, menggunakan bahasa Jawa halus (krama inggil). Padahal, bahasa Jawa halus idealnya dipakai yang muda saat berbicara dengan orang tua. Namun, sutradara membaliknya dan mengharuskan Mbah Ponco berbahasa Jawa halus.

”Kula diken boso kalian anak kula, kula ngguyu. Lha wong sama anak kok boso (Saya disuruh berbahasa Jawa halus kepada anak saya. Saya tertawa. Lha sama anak kok disuruh berbahasa Jawa halus atau hormat),” ucap Mbah Ponco, lantas tersenyum geli.

Saat ditanya bagaimana menjalani peran sebagai Mbah Sri dengan sangat baik, Mbah Ponco mengungkapkan bahwa sosok Sri itu mirip dengan dirinya. Dia lantas menceritakan kisah hidupnya. Ingatannya masih cukup kuat.

Mbah Ponco mengisahkan, sekitar akhir 1930-an, dirinya yang saat itu berusia 16 tahun dinikahi Ponco Sentono, seorang pemuda asal Padukuhan Batusari, Desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul, yang hingga kini setia mendampinginya. Tak lama setelah menikah, masuklah masa penjajahan Jepang.

Mbah Ponco masih ingat bagaimana pertempuran antara tentara Indonesia dan tentara Nippon masuk ke perkampu- ngannya. Dia melihat bagaimana pekarangan dan rumahnya porak- poranda saat dihujani bom oleh tentara Jepang.

Sembari menggendong anak pertama yang baru berusia kurang dari seminggu, Mbah Ponco bersembunyi masuk ke lubang perlindungan di bagian rumahnya. Persembunyian itulah yang menyelamatkan dia dan suaminya. Hingga kini, mereka telah dikaruniai 7 anak, 27 cucu, 40 buyut, dan 4 canggah (anak cucu).

Lantas, bagaimana awal mula Mbah Ponco bisa terlibat dalam film Ziarah? Rusdiyanto, cucunya, menjelaskan ceritanya. Menurut Rusdiyanto, pada 2015 dirinya didatangi Bagus Sutriawan yang merupakan rekan BW Purba (produser dan sutradara film Ziarah). ”Mas Bagus bilang desa saya tepat dijadikan lokasi pengambilan gambar sebuah film sekaligus ingin dicarikan pemain,” ujarnya.

Rusdiyanto yang saat ini menjabat kepala Dukuh Pager- jurang, Desa Kampung, Keca- matan Ngawen, Gunungkidul, pun membantu tim film Ziarah mencari pemain yang akan memerankan sosok seorang nenek tua yang tengah mencari makam suaminya yang meninggal saat perang. Audiensi pun dilakukan. Beberapa nenek ditawari dan dilihat, tapi belum ada yang cocok.

Sampai akhirnya Rusdiyanto bilang memiliki nenek berusia 95 tahun. Tim film Ziarah lantas berkunjung ke rumah Mbah Ponco Sutiyem yang saat itu tengah menyapu di depan rumahnya. Gerak-gerik Mbah Ponco diawasi. Kru film tak butuh waktu lama untuk menjatuhkan pilihan pada nenek yang masih terlihat energik saat menyapu itu.

Warna-warni dunia perfilman pun dinikmati Mbah Ponco di usia senjanya. Karena tak bisa membaca, dialog-dialog pun hanya dihafalnya dari arahan sutradara. Selebihnya, dia berim- provisasi sesuai alur cerita film yang mengambil awal cerita ketika Agresi Militer Belanda Ke-2 pada 1948 itu. Gunungkidul dan wilayah Bayat serta Jombor di Klaten dipilih sebagai lokasi syuting.

Jerih payah Mbah Ponco dan tim film Ziarah pun terbayar lunas dengan prestasi di ajang AIFFA 2017. Lantas, apakah Mbah Ponco bersedia jika ditawari main film lagi? ”Kulo nderek mawon (Saya ikut saja),” jawabnya lantas tersenyum. (*/c9/owi)