25 radar bogor

Tak Miliki Dinding Perut, Zahira Mendesak Dioperasi

BUTUH OPERASI: Zahira (2,5) dalam gendongan ayah dan bundanya. GALUH/RADAR BOGOR

SUDAH setahun terakhir ini, Zahira berjuang melawan rasa sakit di bagian perut. Bayi dua setengah tahun itu mengalami kelainan sejak lahir yakni tidak memiliki dinding perut.

Lantaran tak ada biaya, orang tua Zahira, warga Kampung Bojongrangkas RT 03/05, Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, tak mampu membawa putri kesayangan mereka ke rumah sakit.

Ayah Zahira, Luthfi Pahlepi menuturkan, sebelum putrinya dilahirkan melalui operasi caesar, Juni 2014 silam, sang istri rutin memeriksa kandungan di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat. Karena pada saat itu, proses persalinan menggunakan BPJS. “Karena di Bogor belum ada (rumah sakit yang menerima BPJS), jadi bikin di Jakarta,” tuturnya kepada Radar Bogor kemarin (4/5).

Sehari jelang kelahiran Zahira, Luthfi membawa sang istri ke rumah sakit menggunakan sepeda motor. Keduanya melawan dinginnya udara malam dari Ciampea ke RSUD Tarakan di Jakarta. “Pagi, istri mulai operasi caesar. Setelah operasi selesai, saya dipanggil dokter, katanya anak saya lahir dengan usus dan jantung di luar tubuh. Kami sempat syok. Saya sampai tidak bisa jalan,” kata Luthfi.

Setelah itu, sore harinya Zahira dirujuk ke RSCM Jakarta. Dalam perjalanan dari RSUD Tarakan menuju RSCM, usus dan jantung Zahira yang berada di luar perut hanya ditutupi oleh kain kasa. “Mestinya usus itu ditutupi oleh plastik, karena hanya dengan kain kasa maka usus menjadi bengkak,” katanya.

Sampai di RSCM, tambahnya, putrinya dioperasi plastik. Operasi dilakukan sebanyak tiga kali dalam sepekan. Setiap operasi menghabiskan waktu selama 12 jam. Setelah selesai, operasi terakhir adalah menutup bagian perut dengan kulit. Namun, harus menunggu terlebih dahulu agar kulit bisa ditarik. “Akhirnya, saat anak saya berusia dua bulan, ditarik dan diambillah kulit dari pinggang kanan kiri dan kulit ketiak yang diambil untuk operasi,” terangnya.

Luthfi melanjutkan, tiga bulan pascaoperasi, pihak rumah sakit mengatakan, Zahira harus kembali menjalani operasi untuk penyusunan usus. Setelah satu tahun berjalan, pihak rumah sakit mengatakan, sebelum operasi penyusunan usus, mental Zahira harus dipersiapkan.

“Satu tahun berikutnya, saya datangi lagi rumah sakit. Jawaban mereka masih sama, dan banyak alasan sehingga membuat kami kecil hati. Padahal, mereka bilang anak saya bisa dikecilkan perutnya tapi malah disarankan untuk rehab mental,” tuturnya.

Selama satu tahun itu ia pulang pergi Jakarta-Bogor hanya untuk check-up Zahira. Karena di Bogor tak ada dokter bedah anak. Sekalipun ada, dokter anak di RS Hermina, tetapi rumah sakit tersebut saat itu belum melayani BPJS.

“Lalu, dokter yang menangani putri saya bilang bahwa Zahira harus segera dioperasi penyusunan usus. Sebab, semakin lama semakin besar perutnya. Kami udah berusaha supaya anak saya cepet dioperasi, malah tidak ditanggapi,” keluhnya.

Upaya yang bisa dilakukan Luthfi sejauh ini dengan tak pernah telat membayar angsuran BPJS kelas satu setiap bulannya. Namun, sampai usia Zahira menginjak dua tahun, iuran BPJS itu ia hentikan, lantaran kecewa karena proses operasi putrinya tersebut terus ditunda.

“Ya sudah, saya pikir gak usah dibayar saja sekalian. Padahal, saya menggunakan BPJS kelas satu untuk memperingan biaya penebusan obat,” kesalnya.

Sang istri, Dwi Putri (29), mengaku sedih dan sulit menahan tangis ketika melihat Zahira berbeda dengan anak lainnya. Ia pun berpikir bagaimana mental putrinya jika sudah besar kelak. Pola makan pun harus diperhatikan agar pencernaan tidak terganggu. Terutama dari usus yang kadang membesar dan membuat Zahira muntah tiba-tiba.

“Kalau terlalu banyak makan dia muntah, kalau kurang buah tidak bisa buang air. Jadi harus diimbangi keduanya,” akunya.

Zahira juga kerap kesulitan buang air besar. Dwi harus mengusap-usap perut putrinya itu agar bisa buang air besar dengan lancar. Jika kotoran yang dikeluarkan agak keras, putrinya akan menjerit kesakitan. “Sudah gak ada air mata lagi buat anak saya. Kepingin mah anak saya seperti anak-anak normal lainnya, itu saja saya mintanya,” ucapnya sambil menangis.

Ia menambahkan, kadang Zahira menanyakan padanya kenapa tidak memiliki pusar seperti dirinya. Ia pun mencoba menenangkan dengan menjawab bahwa perutnya pun sama besar dengan perut putrinya. Kadang juga saat kondisi rumah sepi, Zahira sering memukul-mukul perutnya. “Saya khawatir mental anak saya mulai terganggu,” ucapnya lirih.

Zahira pun hanya bisa tertidur dalam posisi terlentang. Dia akan kesakitan jika tak sadar berubah posisi. “Kalau dia sudah nangis karena sakit perutnya, saya suka mendengarkan perutnya ada suara-suara aneh dan seperti ada ular jalan,” katanya.

Ia berharap pemerintah atau siapa pun bisa membantu biaya pengobatan, agar putrinya itu bisa menjalani hidup seperti anak normal. “Kalau mengan- dalkan BPJS tanpa andil dari pemerintah juga sulit,” tukasnya. (cr4/d)