25 radar bogor

Rangkul dan Bina Peretas

PUBLIK kerap dikejut kan dengan fenomena kecerdasan seseorang meski tanpa mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Sebut saja Susi Pujiastuti, yang hanya lulusan SMP tapi dipercaya menjadi seorang menteri.

Kemudian sosok Haikal. Remaja lulusan SMP, pembobol ribuan situs komersial dan milik pemerintah. Sejumlah kalangan menilai fenomena tersebut sebagai tamparan bagi pemerintah, khususnya dalam merumuskan sistem pendidikan nasional.

“Saya belikan motor Ducati sama foya-foya. Enggak ada pengeluaran untuk investasi,” tutur Sultan Haikal (19), saat diperiksa petugas di Bareskrim Polri, Jakarta Pusat, awal April lalu.

Remaja asal Tangerang itu pun mengaku membobol ribuan situs hanya untuk iseng. Uang yang terkumpul dari hasil pembobolan tersebut pernah mencapai Rp600 juta, dari satu laman situs komersial.

Menariknya, Haikal melakukan itu semua hanya berbekal komputer jinjing dan akses internet. Ilmu tentang peretasan ia pelajari secara otodidak di dalam kamarnya di Perumahan Pesona Gintung Residence, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten.

Pengamat pendidikan, Darma- ningtyas, memberi ”acungan jempol” atas kemampuan Haikal. Dia menilai cara belajar Haikal sudah tepat karena mampu menjadi peretas yang hebat. Namun dengan kecerdasan tinggi dan minim arahan, kemampuan itu berpotensi digunakan untuk hal-hal negatif.

“Bisa menjebol situs institusi yang begitu kuat berarti dia punya kecerdasan yang tinggi. Bisa dimanfaatkan oleh intelijen untuk membantu kepentingan negara,” kata pakar pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Di sisi lain, fenomena Haikal membuktikan pendidikan nonformal tidak secara otomatis lebih buruk ketimbang pendidikan formal. Musababnya, pendidikan nonformal tidak dipersulit dengan birokrasi dan lebih bebas berekspresi. Sementara di pendidikan formal, peserta didik cenderung selalu berpikir dipenuhi birokrasi dan kekhawatiran-kekhawatiran.

“Nanti gini, nanti gini, akhirnya mereka tidak berbuat sesuatu. Dan saya kira jebol situs itu iseng-iseng untuk menguji kemampuan mereka, dan ternyata mereka mampu. Kalau di pendidikan formal, takut gak naik, takut gak lulus. Kekhawatiran-kekhawatiran itu akhirnya membelenggu, sehingga kreativitas tidak muncul dari sekolah formal,” tukasnya.

Pemerintah, kata Darmaningtyas, harus peka melihat fenomena ini. Sebaiknya, Haikal segera dibina dan diarahkan untuk membantu negara di dunia teknologi informatika. Semisal membantu intelijen kepolisian dan BIN atau TNI untuk membongkar kasus-kasus sulit.

“Saya kira pasti dia ( Haikal) akan dipakai. Karena dia itu potensial,” kata dia.

Fenomena Haikal, imbuhnya, juga menunjukkan bahwa pendidikan nonformal tidak buruk dan bisa beriringan dengan pendidikan formal. Syaratnya, pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pendidikan nonformal karena bisa memberikan alternatif- alternatif lapangan kerja kepada lulusan sekolah nonformal. “Sehingga tidak boleh dianaktirikan atau diabaikan,” tukasnya.

Pakar TI dan kriptografi dari CissRec, Pratama Pershada me- nam bahkan, maraknya pereta- san di tanah air salah satunya disebabkan oleh minimnya kurikulum berinternet sehat di jenjang pendidikan. Padahal, kini Indonesia memiliki pemakai internet lebih dari 132 juta orang, mulai usia 13 tahun.

Kondisi ini membuat pemerintah seharusnya menjadikan edukasi cyber sebagai salah satu prioritas dalam program pembangunan manusia di Indonesia. Paling tidak dari segi keamanan berinternet, masyarakat mulai tahu bagaimanan berinternet yang sehat dan aman.

“Lalu, juga bagaimana masyarakat mengamankan data pribadi mereka di internet. Yang tak kalah penting adalah masyarakat bisa mengatur privasi mereka di dunia cyber, sehigga tidak mudah menjadi korban kejahatan dari orang asing di internet, utamanya media sosial,” ujarnya.

Selain dari segi keamanan, masyarakat juga harus mendapatkan edukasi terkait hak mereka di internet. Masyarakat memang berhak berekspresi, tetapi juga jangan sampai menimbulkan kegaduhan. Ada hak-hak orang lain yang tidak boleh diterabas di internet.

“Bagaimana masyarakat menggunakan internet tidak untuk melanggar hak intelektual orang lain, seperti yang sering kita temui adalah penggunaan musik dan video tanpa izin, bahkan menngunduh film serta software bajakan dari internet,” ungkap Pratama.

Masyarakat juga harus diarahkan pada kegiatan internet yang positif seperti berwirausaha atau membuat gerakan sosial yang merangkul dan membantu banyak pihak. Ini penting agar masyarakat dan individu bisa disibukkan dengan kegiatan positif di internet.

Terkait banyaknya peretas yang menyerang web lokal tanah air, memang selain edukasi internet sehat sejak dini, diperlukan lembaga Badan Cyber Nasional (BCN). Badan ini sejatinya sudah dibentuk sejak 2016 lalu, tetapi tertunda salah satunya terkait masalah minimnya anggaran.

Lembaga semacam BCN sendiri sangat penting dan strategis, karena wewenangnya menjaga kedaulatan wilayah cyber tanah air. Di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, lembaga semacam BCN ini sudah dibentuk sejak 2009.

Sementara itu, pakar teknologi informatika, Roy Suryo mengatakan, peretasan sebenarnya adalah hal yang sudah sangat sering terjadi. Namun, karena dua “korban” terakhir adalah situs yang berhubungan dengan layanan telekomunikasi, maka “nilai immaterial”-nya (bagi pemilik situs) lebih terasa besar dan “sexy” untuk pemberitaan.

“Jadi sebenarnya tidak tergan- tung kepada ’berpendidikan’ atau ’tidak’ hacker tersebut, melainkan lebih kepada ’korban’ peretasannya,” kata Roy.

Meski begitu, Roy berpendapat, seharusnya ilmu teknologi informatika digunakan untuk hal-hal bermanfaat, serta diaplikasikan untuk membantu masyarakat. Di sisi lain, peretasan tersebut harus menjadi pelajaran mahal dari pemilik situs yang bersangkutan untuk lebih “merawat” situs- situsnya.

“Karena meski situs hanya seperti “etalase” namun berdampak luas bagi citra layanan yang diberikan ke masyarakat. Jadi, saya lebih cenderung untuk tidak menyalahkan satu pihak saja tetapi semuanya harus bertanggung jawab,” ujarnya.

Roy menegaskan, hacker memang beragam tujuannya. Bisa sekadar unjuk diri tanpa tujuan komersial, atau sekadar memperingatkan pemilik situs. Ada juga yang bertujuan bisnis, persaingan usaha dengan mendiskreditkan citra perusahaan pesaing.

“Sampai ke tujuan politis, tergantung motif di baliknya. Jadi, kalau kaum terpelajar tersebut memang sudah bergeser tujuannya, maka memang ada baiknya dunia pendidikan menanamkan pengetahuan soal moral dan etika kepada pelajar. Di samping juga kemampuan secara teknikalnya, sehingga akan imbang antara keahlian dan moralnya,” tegasnya.

Dia menambahkan, percuma saja presiden selalu menyampaikan soal revolusi mental kalau ternyata justru perbandingan antara mental dan moral kaum berpendidikan tidak sebanding dengan kemampuan teknisnya.

”Saya mungkin tidak dalam posisi mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi memang sebaiknya ini menjadi concern kita bersama dan pemerintah tidak perlu terlalu banyak retorika soal revolusi mental terus,” imbuhnya.

Secara umum, apa yang dilakukan Haikal adalah yang dilakukan para pemula. Tapi, dia memiliki kemampuan lumayan untuk meretas situs- situs itu. Sementara hacker lainnya mungkin memiliki kemampuan lebih gila.(ric)